Kamalsuraba's Blog

Berbagi ilmu melalui blog

BANGKAI IKAN…? HALAL!

BANGKAI IKAN…? HALAL!

Seringkali kita lihat ada ikan Paus/Hiu terdampar di pantai. Dan biasanya hanya dikubur begitu saja. Padahal tidak mengana mengkonsumsinya. Sebab hewan-hewan laut punya hukum tersendiri dalam Islam.

Apa itu Hewan Laut?

Bicara tentang hewan laut dalam pandangan syariat Islam tidak lepas dari pengertian laut dalam bahasa Arab dan istilah syariat. Kata “Al0bahru” dalam bahasa ‘Arab bermakna air yang luas dan banyak sekali, namun banyak dipakai pada air laut yang asin, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Mu’jam Al Wasith. Sedang dalam istilah para ulama adalah air yang banyak dan luas berisi ikan dan hewan-hewan air yang lain.

Dalam syariat dan istilah para ulama, hanya dikenal dua jenis hewan ditinjau dari tempat hidupnya yaitu hewan darat (“Al-Barr”) dan hewan laut (“Al-Bahru”) sebagaimana firman Allah,

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam ihram. Dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Al-Maidah : 96).

Binatang burlan laut dalam ayat ini mencakup semua binatang yang hidup di air.

Apabila melihat kepada kebiasaan hidup di air, hewan buruan ini dibagi menjadi dua kategori :

  1. yang hanya dapat hidup di air, apabila keluar dari air maka tidak bisa hidup lama seperti ikan dengan semua jenisnya.
  2. yang hidup di air namun mampu hidup di darat, seperti buaya dan kepiting.

Dengan demikian jelaslah hewan laut meliputi seluruh binatang yang hidup di air, baik ia hanya dapat hidup di air saja atau mampu bertahan di daratan.

Bolehkah Dikonsumsi?

Para ulama fikih berbeda pendapat tentang hal ini, namun yang rajah (kuat) adalah kebolehan memakan seluruh hewan laut berdasarkan keumuman firman Allah,

“Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat papal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.”(Faathir) : 12).

Dan firman-Nya, “Dihalalkan bagimu binatang burlan laut dan makanan (yang beasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan…” (Al-Maidah : 96)

Ibnu Abbas menjelaskan pengertian firman Allah : …… hádala binatang yang diburu dan …… adalah yang terapung di atasnya (bangkai).

Hal ini juga didukung dengan keumuman sabda beliau ketika ditanya tentang air laut, “Airnya suci dan bangkainya halal.” (Riwayat Abu Dawud).

Bahkan beliau pun minta daging ikan Paus itu kepada para sabatina dan ikut memakannya, sebagaimana dikisahkan Jabir, “Kami berperang dipimpin oleh Abu Ubaidah, lalu kami sngat kelaparan. Kemudian laut melempar seekor ikan mati yang tidak pernah kami lihat sebelumnya dinamakan Al-Ambar (sejenis ikan Paus), lalu kami memakannya selama setengah bulan. Abu ubaidah mengambil salah satu tulangnya lalu seorang berkendaraan lewat di bawahnya. Abu Ubaidah menyatakan, ‘Makanlah!’ Ketika kami sampai di Madinah kami kisahkan hal tersebut lepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lali beliau bersabda, “Makanlah rezeki yang Allah karuniakan. Berilah untuk kami makan apabila kalian membawanya! Lalu seorang membawakannya dan beliau pun memakannya.” (Riwayat Al-Bukhari).

Hukum Mengkonsumsi Hewan Amfibi (Hidup Di Dua Alam)

Demikian juga dalam permasalahan memakan hewan yang hidup di dua alam ini seperti Penyu, Kepiting dan lain-lainnya. Para ulama bersilang pendapat menjadi empat pendapat :

  1. Halal seluruhnya, ini pendapat madzhab Malikiyah.
  2. Halal seluruhnya kecuali katak dalam semua kondisi dan burung laut apabila tidak disembelih, ini pendapat madzhab Syafi’iyah.
  3. Tidak boleh memakannya tanpa disembelih, kecuali kepiting karena termasuk hewan yang tidak memiliki darah mengalir. Ini pendapat madzhab Hambaliah.
  4. Tidak boleh sama sekali. Ini pendapat madzhab Hanafiyah.

Yang kuat, Insyaallah hádala kehalalannya. Selama tidak ada dalia khusus untuk jenis tertentu darinya (dalia pengharamannya). Wallahu A’lam. (Abu Abbas)

Dikutip dari : Majalah Nikah Vol. 5, No. 4, Juli 2006, Jumadil Akhir 1427 H

Agustus 8, 2009 - Posted by | Uncategorized

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar