Kamalsuraba's Blog

Berbagi ilmu melalui blog

Penentuan Awal Ramadhan, Ru’yah atau Hisab?

Penentuan Awal Ramadhan, Ru’yah atau Hisab?

Tak  sedikit  orang yang menggunakan ilmu hisab untuk menentukan  awal   bulan  Ramadhan  (Hijriyah).  Pada  masa  Rasulullah صل اللة عليه وسل , ilmu hisab sudah ada dan digunakan oleh orang-orang Romawi, Persia dan Arab.

Tapi mengapa Rasulullah صل اللة عليه وسلم tidak menggunakan ilmu hisab untuk menentukan awal bulan dan lebih memilih dengan cara melihat hilal?

KELEMAHAN-KELEMAHAN ILMU HISAB DALAM MENENTUKAN AWAL RAMADHAN DAN SYAWAL

1. Menyelisihi Al Qur’an Al Karim

Allah سبحانه وتعلى telah menetapkan bahwa hilal (bulan sabit)  adalah petunjuk untuk menentukan awal bulan Hijriyah. Allah سبحانه وتعلى berfirman,

“Mereka bertanya tentang hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah haji).” (QS. Al Baqarah: 189).

Dan firman Allah سبحانه وتعلى dalam ayat yang lain;

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barang siapa di antara kalian yang menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al Baqarah: 185).

Kata شَهِدَ dalam ayat ini, dalam bahasa Arab berarti menyaksikan dengan mata kepala, dan ini ditafsirkan oleh hadits Rasulullah صل اللة عليه وسلم

صُوْمُوْا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُأْيَتِهِ

“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah (berlebaranlah) karena melihatnya.” (HR. Bukhari).

Dan yang lebih berhak untuk menafsirkan Al Qur’an setelah Allah سبحانه وتعلى adalah Rasulullah صل اللة عليه وسلم

2. Menyelisihi Sunnah Rasulullah صل اللة عليه وسلم

Rasulullah صل اللة عليه وسلم telah bersabda, artinya,

“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Dan jika kalian melihatnya, maka berlebaranlah. Tetapi jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian pula sabda beliau yang lain,

لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ

“Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya, dan janganlah kalian berlebaran sampai kalian melihatnya.” (HR. Muslim).

Dalam hadits lain, Nabi صل اللة عليه وسلم bersabda,”Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung, bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam jari pada ketiga kalinya) dan bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alihi).

Sifat ummi (tidak menulis dan tidak menghitung) yang disandangkan oleh Rasulullah صل اللة عليه وسلم kepada umat ini, akan tetap berlaku sampai saat ini, jika sifat ummi tersebut dinisbatkan kepada ilmu hisab.

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah (berlebaranlah) karena melihatnya. Maka jika tersembunyi atas kalian, maka hendaklah kalian menyempurnakan Sya’ban menjadi tiga puluh hari” (HR. Bukhari).     Kata رُؤْيَةٌ dalam hadits-hadits di atas, tidak bisa diartikan kecuali dengan     مُشَاهَدَةٌ بِالْعَيْنِ (melihat dengan mata kepala), karena hanya mengandung satu obyek, yaitu hilal.

Di dalam memahami dalil-dalil, baik dari al Qur’an maupun as-Sunnah, harus dikembalikan kepada pemahaman orang-orang Arab dalam memahami makna dari kalimat tersebut. Dan berkaitan dengan dalil-dalil tentang ru’yah dalam menetapkan awal Ramadhan maupun Syawal, maka para sahabat رضي الله عنهما sama sekali tidak pernah merujuk kepada pendapat ahli hisab, walaupun sekali!

3. Menyelisihi Ijma’ (Kesepakatan)

Para ulama bahkan kaum Muslimin telah bersepakat, bahwa masuk dan keluarnya bulan ditandai dengan muncul-nya hilal yang diketahui dengan cara ru’yah. Ijma’ sejak zaman Rasulullah صل اللة عليه وسلم hingga zaman ini. Maka orang-orang yang menggunakan ilmu hisab berarti telah menyelisihi ijma’. Allah سبحانه وتعلى berfirman, artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115).

4. Tasyabbuh terhadap Ismailiyah

Tidak dikenal dalam sejarah orang yang menyelisihi penetapan awal bulan dengan cara ru’yah kecuali Ismailiyyah (salah satu sekte yang paling ekstrem dari golongan Syi’ah). Sehingga termasuk salah satu bentuk tasyabbuh (menyerupai) terhadap orang-orang Ismailiyah adalah dengan menggunakan hisab dalam penentuan awal bulan Hijriyah.

5. Hisab Dibangun di atas Ilmu Zhonni

Imam Al Ghazali—rahimahullah—mengklasifikasikan ilmu ke dalam empat bagian, yaitu:

a. Ilmu tauqifiy,  yaitu yang berasal dari Al Qur’an dan hadits Rasulullah صل اللة عليه وسلم

b. Ilmu qath’iy (ilmu pasti), contohnya adalah matematika, seperti 1+1=2, hasilnya tidak akan pernah berubah.

c. Ilmu tajribiy (ilmu yang diperoleh dari hasil riset).

d. Ilmu zhonniy (praduga), dan salah satu contohnya adalah ilmu falak.

Peneliti dari ilmu hisab, semuanya sepakat tentang mustahilnya menentukan ru’yah secara tepat untuk kemudian dihukumi bahwa hilal pasti dilihat atau tidak dapat dilihat sama sekali dengan ketentuan yang sifatnya menyeluruh, meski mungkin bisa terjadi secara kebetulan.

Sehingga tidak mengherankan apabila terjadi perbedaan antara hasil hisab suatu lembaga/organisasi dengan hasil hisab organisasi lainnya, karena memang hisab dibangun di atas  zhon (praduga). Dan tidak mungkin Allah سبحانه وتعلى menetapkan suatu ibadah yang agung di atas pijakan ilmu zhon.

6. Mempersulit Umat

Penetapan awal bulan dengan ru’yah merupakan realisasi dari maqashid asy-syari’ah, yang mana salah satunya adalah untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi umat. Orang yang mengetahui ilmu hisab sangat langka, sehingga menjadikan hisab sebagai sarana untuk mengetahui masuknya awal bulan merupakan hal yang membebani umat. Berbeda dengan menentukan awal bulan dengan ru’yah, selama masih memiliki mata yang normal, maka cukup dengan melihat hilal, dan apabila hilal tidak terlihat, maka dengan menggenapkan bulan tersebut 30 hari.

Inilah tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti dan membawa banyak maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad صل اللة عليه وسلم Nabi صل اللة عليه وسلم menetapkan bahwa untuk menetukan awal bulan Hijriyah adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal), ketika ilmu hisab dan falak telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia bahkan Arab. Namun Nabi صل اللة عليه وسلم tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau sepenuhnya menerima ketentuan Allah سبحانه وتعلى bahwa untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal).

Yang sangat disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi صل اللة عليه وسلم ini tersisihkan dan diganti kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan oleh pihak-pihak yang menganggap diri mereka sebagai ulama dan tokoh umat.

7. Memecah Belah Umat

Allah سبحانه وتعلى berfirman, artinya:

“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfal: 46).

Perbedaan pendapatlah yang menyebabkan perpecahan dan keporak-porandaan, sehingga kita semakin jauh dari petunjuk Nabi صل اللة عليه وسلم

Allah سبحانه وتعلى berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah diennya dan mereka menjadi bergolong-golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka.” (QS. Al An’am: 159).

Mereka yang bergolong-golongan dan memecah belah persatuan serta kesatuan kaum Muslimin, akan terlepas hubungannya dengan Nabi صل اللة عليه وسلم. Nabi صل اللة عليه وسلم pun sama sekali tidak bertanggung jawab atas tingkah laku mereka. Mereka itu terdiri dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang sengaja membuat kekejian di atas kedengkian, dan mereka juga tidak mau menerima Islam. Allah سبحانه وتعلى berfirman,

“Sesungguhnya dien (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al Kitab kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.” (QS. Ali Imran: 19).

Oleh karena itu, patutkah kita mewarisi “penyakit ahli kitab” yang menggantikan warisan dari al Kitab? Patutkah pula kita mewarisi kekejian dan kedengkiannya? Sebenarnya, perselisihan dan kebencian serta pemecahbelahan agama adalah termasuk penyakit warisan para ahli kitab. Inilah yang menyebabkan kehancuran mereka. Kisah-kisahnya telah diabadikan dalam al Qur’an untuk menjadi pelajaran yang gamblang bagi umat-umat setelahnya.

SYUBHAT

Sebagian orang memahami sabda Nabi صل اللة عليه وسلم

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلَّا أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُمْ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Bulan adalah 29 (hari), maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berlebaran hingga kalian melihatnya, kecuali jika kalian terhalangi awan. Maka jika tertutupi awan, maka tentukanlah.” (HR. Muslim).

Pendukung hisab mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi صل اللة عليه وسلم

فَاقْدِرُوْا لَهُ adalah “tentukanlah dengan ilmu hisab.”

TANGGAPAN

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menanggapi syubhat mereka dengan perkataan beliau, “Pendalilan mereka dengan hadits Ibnu Umar ini sangat rusak, karena Ibnu Umar sendiri yang meriwayatkan hadits: “Kita adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung.” Bagaimana mungkin kemudian hadits beliau ini dipahami dengan makna wajibnya mengamalkan ilmu hisab?” (Majmu’ Fatawa, 25/182).

Makna yang benar dari hadits ini adalah ‘tentukanlah jumlah bulan dengan menyempurnakan jumlah Sya’ban menjadi 30 hari’. Dan akan lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata فَاقْدِرُوْا لَهُ yaitu hadits yang terdapat dalam riwayat Muslim, dari Nabi صل اللة عليه وسلم dengan lafazh,

فَاقْدِرُوْا ثَلاَثِيْنَ

“Maka tentukanlah menjadi 30.”

Yang lebih jelas lagi adalah riwayat dari Abu Hurairah, dari Nabi صل اللة عليه وسلم

فَأكْمِلُوْا الْعِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْن َ

“Maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30.” (HR. Bukhari).

Inilah makna yang benar, dan keliru besar jika menganggap maknanya adalah ‘perkirakanlah dengan ilmu hisab atau falak’. Wallahu A’lam (Al Fikrah)

Abu Khalid Jahada Mangka, Lc.

www.wahdah.or.id

Juli 20, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Tanda-Tanda Kedewasaan

Tanda-Tanda Kedewasaan

Tanda-tanda seseorang menjadi dewasa telah banyak diketahui setiap orang. Bagi laki-laki biasanya ditandai dengan “mimpi basah”, dan beberapa ciri lain yang menyertai. Sedangkan pada wanita, kedewasaan itu ditandai dengan keluarnya darah haid.

Namun fenomena yang terjadi di mayarakat saat sekarang ini, usia  “tujuh belas tahun” dianggap sebagai tanda kedewasaan seseorang. Maka terkadang timbul pertanyaan, haruskah 17 tahun tanda kedewasaan itu? Dan  bagaimana syariat Islam menyikapi usia 17 tahun tersebut?

Dewasa dengan Ibadah

Bertambahnya usia menjadi dewasa bukannya sepi dari tantangan atau lepas dari tanggung jawab, bahkan dengan bertambahnya usia menjadi dewasa, maka tantangan dan tanggung jawab makin berat. Bagi kaum muslimin, bertambahnya usia menjadi dewasa merupakan kewajiban bagi setiap seseorang  untuk taat beribadah dan menjalankan syariat Islam ini secara sempurna, sebagaimana firman Allah Allah Subhaanahu wa Ta’ala (artinya),

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzariyat:56).

Akan tetapai sangat disayangkan, fenomena yang terjadi di masyarakat dan khususnya kaum Muslimin sangat jauh dari ayat di atas. Bahkan sebagian di antara kaum Muslimin dengan bertambahnya usia menjadi 17 tahun, ada yang beranggapan dengan usia tersebut seseorang tidak mengapa  pacaran, menonton film-film tujuh belas tahun ke atas. Dan parahnya lagi, anggapan bahwa pada usia tujuh belas  tahun tersebut, seseorang  boleh  melakukan adegan percintaan. Begitulah anggapan masyarakat dan kaum Muslimin saat sekarang ini. Na’adzu billahi min dzalik, kita memohon kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala agar dilindungi dari hal-hal yang seperti “itu”.

Ada empat hal yang melatarbelakangi sehingga anggapan itu terjadi;

1. Cinta dunia.

Banyak di antara pemuda kita yang lebih mengutamakan hawa nafsunya dan lebih mengedepankan kenikmatan dunia dibanding kenikmatan beribadah. Hawa nafsu dan dunia lebih dicintai dibandingkan melaksanakan ketaatan pada-Nya. Begitulah, akhirnya mereka pun lebih cenderung untuk melakukan kemaksiatan.

2. Kurangnya pemahaman yang benar terhadap agama Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan keengganan menuntut ilmu syar’i.

Akibatnya bisa ditebak, bahwa pemuda Islam beranggapan usia tujuh belas tahun adalah usia hura-hura. Akhirnya mereka tak menyadari sudah jatuh ke dalam lubang dosa karena kejahilannya terhadap agama Allah U dan lalai terhadap hukum dan siksa Allah yang bisa datang kapan saja.

3. Lalai dengan tujuan penciptaannya, sebagaimana yang kami telah sebutkan di awal pembahasan.

Banyaknya orang yang sekadar hidup makan, minum, menyalurkan syahwat belaka, dan tidak perduli dengan tujuan kehidupannya, atau bahkan tak tahu tujuan hidupnya. Laa haula wa laa quwwata illah billah.

4. Tidak berpikir untuk bekal di akhirat yang perjalanannya sangat panjang untuk ditempuh dan sifatnya kekal (selama-lamanya).

Ini akibat anggapan mereka yang mengatakan bahwa usia tujuh belas tahun itu hanya untuk hura-hura saja, yang akhirnya mereka pun melupakan kematian yang dapat menghancurkan kenikmatan yang ada di dunia ini dan  angan-angan seseorang, yang mana  kematian tersebut bukan hanya datang pada usia ketika seseorang sudah tua, akan tetapi sebaliknya, begitu banyak pemuda yang telah mendahului orang-orang yang lebih tua.

Syariat Segala Umur

Sebenarnya Islam telah mengaturnya, dan hebatnya lagi Islam lebih unggul dari pemikiran  tersebut. Jika sebagian orang menganggap bahwa usia tujuh belas tahun seseorang telah dianggap sebagai dewasa, maka Islam menganggap usia sebelum itu sudah merupakan kedewasaan. Buktinya, ketika seseorang berada pada usia 14 tahun, lalu orang tersebut telah mendapatkan atau mengalami tanda-tanda kedewasaan yang sebagaimana telah kita sebutkan yaitu bagi laki-laki biasanya ditandai dengan mimpi basah, dan perempuan biasanya ditandai dengan keluarnya darah kotor (haid). Maka ketika itu Islam menganggap seseorang telah dewasa dan siap menjalankan syariat dengan penuh tanggung jawab. Sebagimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,yang artinya:

“Diangkat pena (tidak dikenai kewajiban menjalankan syariat) dari tiga golongan:  Orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia besar (bâligh), dan orang gila hingga ia berakal atau sadar.” (HR. Nasai).

Maka kita dapat pahami bahwa Islam tidak menetapkan standarisasi usia kedewasaan seseorang, namun ketika seseorang telah baligh maka Islam telah menganggap orang tersebut telah dewasa dan tidak perlu menunggu sampai usia tujuh belas tahun. Apabila seseorang telah sampai pada balighnya maka ia adalah orang yang wajib melaksanakan syariat ini, seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain.

Bahkan pada usia tersebut, secara syariat sudah bisa malaksanakan pernikahan sehingga tidak mesti melakukan perbuatan maksiat seperti pacaran yang banyak dilakukan muda mudi pada usia tersebut. Begitu juga usia tujuh belas tahun tidak ada kekhususan atau keistimewaan menurut Islam. Akan tetapi Islam sekali lagi telah mengajarkan  kepada kita bahwa pada usia berapa pun  seseorang tetaplah terikat pada syariat selama ia telah baligh, masih berakal sehingga mampu membedakan benar dan salah. Sampai-sampai Islam mengajarkan juga hal yang dianggap kecil atau sepeleh bagi orang-orang yang mengaku dirinya sudah “dewasa”, yaitu bercampur baur (berkumpul bersama-sama lawan jenis), melihat aurat lawan jenis, menonton film-film yang berlabel 17 tahun ke atas, atau bahkan adegan percintaan.Maka kita dapat memahami bahwa Islam tidak mengharuskan seseorang berumur tujuh belas tahun agar dapat dikatakan dewasa atau sudah baligh.

Saatnya Berubah dan Bertaubat

Usia tujuh belas tahun menurut sebagian orang adalah masa-masa indah, hura-hura dan tentunya semua kesenangan yang menggiurkan. Namun tidak begitu halnya dengan seorang Muslim atau Muslimah yang bertanggung jawab. Usia tujuh belas tahun itulah yang merupakan titik atau awal mula bagi kaum Muslim maupun Muslimah untuk membenahi diri, mengenali potensi diri dan mengembangkannya di jalan yang positif (selaras dengan koridor syar’i). Inilah ciri pribadi Muslim atau Muslimah yang bertanggung jawab. Beginilah semestinya kaum Muslim atau Muslimah yang telah dewasa. Bukan masanya lagi bagi kita yang telah menjadi dan dianggap dewasa untuk bersenang-senang sehingga lupa tujuan hidup. Dan usahakanlah untuk menjadikan hari esok itu lebih baik dari hari-hari sebelumnnya, dan segeralah bertaubat kepada Allah U karena sesungguhnya Allah U Mahaluas ampunan-Nya lagi Mahapenyayang. Sebagaimana firman-Nya (artinya):

“Katakanlah, hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Az-Zumar: 53).Wallahu A’lam

Abdul Rasyid Yusuf el-Makassari,

(Sumber: Majalah el Fata, edisi 4 Vol. 07 th 2007)

Juli 20, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Indahnya Belum Terbayangkan

Indahnya Belum Terbayangkan

Cita-cita tertinggi seorang Muslim adalah surga. Memasukinya dan hidup di dalamnya adalah sebuah angan-angan yang menghantui sepanjang usia berjalan.

TAMASYA KE SURGA

Ayat-ayat tentang Surga:

Allah سبحانه وتعلى.telah menggambarkan keadaan surga dalam banyak ayat Al Qur’an, di antaranya adalah firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir). (Dikatakan kepada mereka), “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman.” Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya.”  (QS. Al Hijr: 45-48).

“Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata, seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk, dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan. Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka mendengar ucapan salam. Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon bidara yang tak berduri, dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya), dan naungan yang terbentang luas, dan air yang tercurah, dan buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya, dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk. Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan, (yaitu) segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan besar pula dari orang-orang yang kemudian.” (QS. Al Wâqi’ah: 10-40).

Semua nikmat yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namanya sama dengan yang dilihat di dunia. Tetapi, ketika disebut benda-benda ini, hanya sebagai penamaan agar dipahami penduduk dunia. Adapun yang sebenarnya dan hakekat kesenangan-kesenangan, diserahkan kepada Allah Yang Maha Agung dan Maha Bijaksana.

Sifat-sifat Surga dalam Sunnah Shahihah

Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah menerangkan tentang sifat-sifat surga yang dijanjikan Allah سبحانه وتعلى. kepada orang-orang bertakwa dengan keterangan yang dalam, detail dan gamblang:

1. Pintu-pintu surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

فِيْ الْجَنَّةِ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابٍ فِيْهَا بَابٌ يُسَمَّ الرَّيَّانَ لاَ يَدْخُلُهُ إِلاَّ الصَّائِمُوْنَ

“Di dalam surga ada delapan pintu, di antaranya ada yang bernama Ar-Rayyân, tidak akan dimasuki kecuali oleh orang-orang yang (rajin) berpuasa.” (HR. Bukhâri).

2. Tidak ada kematian dalam surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, artinya:

“Jika penduduk surga telah memasuki surga, maka ada yang berseru, “Sesungguhnya kalian akan tetap hidup dan tidak akan mati. Kalian akan tetap sehat dan tidak akan sakit. Kalian akan tetap muda dan tidak akan tua. Dan kalian akan tetap mendapat nikmat dan tidak akan mendapat kesusahan.” (HR. Muslim).

3. Sifat-sifat penduduk surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, ”Akan masuk surga sekelompok orang dalam keadaan memiliki rambut yang sedikit, seakan-akan mata mereka bercelak, yaitu berumur 33 tahun atau 30 tahun.” (Shahîhul Jâmi’: 7928).

“Akan masuk surga beberapa kaum yang hati mereka seperti burung (yaitu dari sisi kelembutan, ketakutan, dan kehormatan). (Shahîhul Jâmi’: 7924).

“Kaum Mukminin di surga akan diberi demikian dan demikian dalam urusan jimak (bersetubuh). Ada sahabat yang bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah dia mampu untuk itu?” Nabi  berkata, “Dia akan diberi seratus kekuatan.” (Shahîhul Jâmi’: 7962).

4. Wanita-wanita penghuni surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Kalaulah seorang wanita penduduk surga menampakkan dirinya kepada penduduk dunia, niscaya dia akan menerangi antara keduanya dan bumi akan penuh dengan wewangian. Dan sungguh penutup kepalanya lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Bukhâri).

5. Makanan dan minuman penduduk surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, artinya:

“Para penduduk surga akan makan dan minum di dalamnya. Mereka tidak buang air besar, tidak beringus, tidak buang air kecil. Akan tetapi mereka hanya makan. Suara kenyang yang keluar dari mulut mereka seperti bau misk. Mereka diberikan tasbih seperti hembusan nafas (itu menjadi pembawaan mereka).” (HR. Muslim).

“Sesungguhnya di surga ada lautan air, lautan madu, lautan susu, lautan khamr, kemudian berubah menjadi sungai.” (Shahîhul Jami’: 2118).

6. Kamar-kamar di surga

“Di surga ada beberapa kamar yang luarnya bisa dilihat dari dalam dan yang isinya bisa dilihat dari luar. Itu disediakan Allah bagi orang yang memberikan makanan, melembutkan ucapan, selalu berpuasa dan shalat di waktu malam ketika manusia sedang terlelap tidur.” (Shahîhul Jami’: 2119).

7. Kemah-kemah, taman-taman dan debu-debu surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Bagi kaum mukminin di surga ada kemah dari permata yang terjalin. Panjangnya enam puluh mil. Dan kaum mukminin di dalamnya akan mendapatkan keluarga yang selalu digilirnya dan masing-masing tidak melihat yang lainnya.” (Muttafaqun ‘alaih).

Dalam sebuah hadits tentang Mi’raj dari Anas bin Malik رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم, beliau bersabda, “….Kemudian aku berjalan bersama Jibril hingga sampai ke Sidratul Muntaha. Ternyata dia dilingkupi oleh warna-warni yang aku tidak tahu apa itu. Beliau berkata, “Kemudian aku dimasukkan ke surga yang berisi kemah-kemah dan kubah-kubah dari permata, ternyata debunya dari misk.” (Muttafaqun ‘alaih).

8. Pohon-pohon surga

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Di surga ada sebuah pohon yang bila seseorang berjalan dengan kendaraan yang paling bagus dan mampu berjalan dengan lama seratus tahun, niscaya tidak akan selesai melewatinya.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga telah bersabda,

مَا فِيْ الْجَنَّةِ شَجَرَةٌ إِلاَّ وَسَاقُهَا مِنْ ذَهَبٍ

“Tidak ada sebuah pohon pun di surga melainkan batangnya dari emas.”       (Shahîhul Jami’: 5523).

9. Pasar di surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Di surga ada sebuah pasar yang diramaikan hanya hari Jumat, maka ketika itu angin berhembus dari utara, kemudian menerpa wajah-wajah mereka hingga menjadi semakin indah. Maka mereka kembali kepada keluarga-keluarga mereka dalam keadaan mereka juga semakin indah. Maka keluarga-keluarga mereka berkata kepada mereka, “Demi Allah, kalian semakin indah setelah kami tinggalkan.” Mereka juga berkata, “Kalian pun semakin indah.” (HR. Muslim).

10. Sungai-sungai di surga

Dari Anas رضي الله عنه, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Aku masuk ke dalam surga, ternyata di sana ada sebuah sungai yang dipinggirnya ada kemah-kemah dan permata. Maka aku memukulkan tanganku ke air yang mengalir itu. Ternyata airnya adalah misk yang sangat harum. Maka aku bertanya, “Apa ini wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Ini adalah Al Kautsar yang diberikan Allah kepadamu.” (Shahîhul Jami’: 3260).

11. Kenikmatan penghuni surga yang paling agung

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Bila penduduk surga telah masuk ke surga dan penduduk neraka masuk ke neraka, maka ada yang berseru, “Wahai penduduk surga! Sesungguhnya kalian memiliki janji di sisi Allah yang ingin Dia tunaikan kepada kalian.” Maka mereka bertanya, “Apakah itu? Bukankah Dia telah memberatkan amal kebaikan kami, memutihkan wajah-wajah kami, memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” Maka disingkaplah tirai, mereka pun melihat kepada Allah. Demi Allah, Allah tidak pernah memberikan sesuatu yang paling mereka cintai dan paling menyejukkan pandangan mereka daripada melihat wajah-Nya.” (Shahîhul Jami’: 535).

SIAPA PENGHUNI SURGA?

Para penghuni surga adalah orang-orang yang merasa takut kepada Allah. Rasa takut yang mendorong kepada kebaikan dan mencegah dari setiap penyimpangan. Rasa takut inilah yang membuat segala ibadah dan amal yang diperintakan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadi ikhlas, bersih dari noda riya dan syirik.(Al Fikrah)

www.wahdah.or.id

Juli 20, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Panah Yang Tak Pernah Meleset

Panah Yang Tak Pernah Meleset

(Al Fikrah No.17 Thn VIII/6 Dzulqa’dah 1428 H)

Tanyakan kepada semua orang, adakah manusia yang tidak memiliki persoalan hidup? Siapa di antara kita yang sepanjang hidupnya diliputi kesenangan? Siapa pula di antara kita yang tidak memiliki obsesi yang tak kunjung terealisasi? Adakah di antara kita yang merasa tenang karena yakin bahwa dosa-dosanya tidak akan menyeretnya ke dalam neraka?

Mereka tentu akan menjawab, “Tidak ada!”

Kita semua memiliki beragam persoalan. Kita pun sering diliputi kesedihan dan duka. Cita-cita dan harapan yang masih tertunda. Bayangan-bayangan dosa pun senantiasa menghantui.

Lalu kemana hendak mengadu?

MENGAPA RAGU BERDOA

Seorang lelaki datang kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita itu jauh sehingga kita menyeru-Nya, ataukah Dia dekat, sehingga kita cukup berbisik kepada-Nya?” Maka turunlah firman Allah سبحانه وتعلى

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, …..” (QS. Al Baqarah: 186).

Pertanyaan yang ditanyakan oleh lelaki tersebut adalah pertanyaan yang begitu mudah. Tapi Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak menjawabnya. Apakah Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak mengetahui jawabannya? Tentu saja Rasulullah صلى الله عليه وسلم

Marilah kita cermati kembali firman Allah di atas, “Apabila ia memohon kepada-Ku”. Ayat ini mengandung konsekuensi berdoa terlebih dahulu sebelum berharap pengabulannya. Ya, Allah سبحانه وتعلى akan mengabulkan permintaan Anda, tapi dengan syarat, Anda mesti berdoa terlebih dahulu.

Perhatikanlah pertanyaan-pertanyaan Allah سبحانه وتعلى dalam ayat-ayat berikut ini, dan perhatikan pula jawabannya. Allah سبحانه وتعلى berfirman,

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189).

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar.” (QS. Al Baqarah: 217).

“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul.” (QS. Al Anfâl: 1).

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. ” (QS. Al Baqarah: 219).

Setiap pertanyaan dalam ayat-ayat di atas jawabannya selalu didahului dengan kata “qul” (katakanlah). Berbeda dengan ayat berikut ini,

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS. Al Baqarah: 186).

Dalam ayat ini, Allah سبحانه وتعلى yang langsung menjawabnya tanpa menggunakan kata “qul” (katakanlah), sebab hubungan yang ada adalah hubungan langsung, kontak terbuka antara kita dengan Allah سبحانه وتعلى, kapan dan di mana saja, tanpa ada perantara antara kita dengan-Nya.

Apalagi yang menghalangi tangan kita untuk tengadah berdoa kepada-Nya? Bukankah Allah سبحانه وتعلى, Yang Mahakaya lagi Mahakuasa atas segala sesuatu telah berkata kepada kita, “Mintalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan permohonanmu”?

Allah yang Mahakaya, Pemilik segala sesuatu, menyuruh Anda untuk meminta kepada-Nya. Tapi mengapa ketika kita ditimpa musibah, atau didera cobaan dan kesulitan, kita lebih memilih untuk meminta dan mengadu kepada sesama makhluk? Masuk akalkah seorang yang sedang tenggelam, memohon pertolongan dari orang yang juga tenggelam? Masuk akalkah, seseorang yang sedang membutuhkan, meminta pertolongan kepada orang yang juga membutuhkan?

Allah سبحانه وتعلى berfirman, “Hai manusia, kamulah yang berhajat kepada Allah; dan Allah Dialah yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Mahaterpuji.” (QS. Fâthir: 15).

Alangkah dalam pengertian ayat ini! Setiap kita membutuhkan Allah! Orang kaya di antara kita adalah fakir. Penguasa kita adalah fakir. Rakyat jelata kita pun fakir. Setiap kita adalah hamba-hamba Allah yang fakir! DAn Allahlah yang Mahakaya, Al Ghaniy Al Hamîd. Kata-kata Al Ghaniy ini disebutkan dalam bentuk ma’rifah, agar kita tahu bahwa kekayaan ini adalah kekayaan (ketidakbutuhan) yang sifatnya mutlak dan absolut.

Anda bertanya, “Siapakah sebenarnya Sang Pemberi yang begitu Dermawan itu?” Dialah Allah! Salah satu nama-Nya adalah “Al Karîm”, yang berarti Zat Yang Mahamemberi tanpa diminta. Subhânallah! Maka apalagi jika diminta!

KEUTAMAAN DOA

Pernahkah Anda memperhatikan susunan surah-surah dalam Al Qur’an? Ternyata Kitabullah dimulai dengan doa, surah Al Fatihah. Bukankah surah ini berisi doa agar kita ditunjuki jalan yang lurus? Lalu surah An-Nâs, surah penutup dalam Al Qur’an. Surah ini pun berisi doa perlindungan dari kejahatan bisikan setan, jin maupun manusia.

Maka Al Qur’an dibuka dengan doa lalu ditutup dengan doa pula, menunjukkan keutamaan yang agung dari doa ini.

1. Yang Paling Mulia di Sisi Allah

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنْ الدُّعَاءِ

“Tidak ada yang lebih mulia di sisi Allah melebihi doa.” (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah ).

2. Karenanya Allah Cinta

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

مَنْ لَمْ يَدْعُ اللهَ سُبْحَانَهُ غَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ

“Siapa yang tidak berdoa kepada Allah I, maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. HR. Ahmad dan selainnya, dinyatakan hasan oleh Al Albânî).

Dari hadits ini, kita bisa pahami bahwa doa adalah ibadah yang dicintai oleh Allah. Demikian pula orang yang berdoa dicintai oleh Allah. Mengapa demikian? Karena Allah I murka kepada hamba-Nya yang tidak mau berdoa.

Nah, sekarang Anda dihadapkan pada dua pilihan, Anda tetap enggan dan malas berdoa lalu Allah murka kepada Anda, atau Anda berdoa dan Allah pun cinta kepada Anda? Jiwa-jiwa yang sehat tentu akan memilih pilihan kedua, seperti halnya Anda. Bukan begitu?

3. Ibadah yang Paling Utama

Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata, “Ibadah yang paling afdhal adalah doa.” (HR. Hâkim, juga diriwayatkan secara marfu’ dan dinyatakan hasan oleh Al Albânî).

BENTUK-BENTUK PENGABULAN DOA

Sekian banyak kenikmatan yang telah Allah karuniakan kepada Anda merupakan jawaban atas doa-doa Anda kepada-Nya. Anda bertanya, “Bagaimana bisa seperti itu?”

Ternyata, doa yang kita panjatkan tidak ada yang sia-sia, karena bisa jadi doa yang kita panjatkan itu dikabulkan dalam bentuk lain.

Di antara bentuk pengabulan doa adalah:

Pertama: Doa Anda dikabulkan di dunia.

Kedua: Ditangguhkan sampai hari kiamat.

Ketiga: Sebagai penangkal kejelekan yang mungkin akan menimpa Anda.

Inilah rahmat dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya, di mana Dia tak pernah menyia-nyiakan kebaikan yang kita lakukan.

Tapi mungkin Anda tidak tertarik dengan hal ini. Dan Anda berkata, misalnya ketikaAnda sedang butuh uang untuk suatu keperluan dan Anda telah berdoa kepada Allah agar diberi rezeki, “Allah Maha Mengabulkan doa, dan saya menginginkan doa saya dikabulkan di dunia. Saya hanya ingin uang, bukan dalam bentuk lain.”

Ini adalah hal yang wajar. Tapi apakah Anda yakin bahwa setiap doa Anda akan mendatangkan kebaikan? Sebab bisa jadi, sebagian doa Anda justru akan mendatangkan kejelekan bagi Anda. Anda mungkin telah berdoa agar bisa lulus di perguruan tinggi favorit di kota Anda. Anda betul-betul menghiba bahkan sampai meneteskan air mata dalam berdoa. Namun Anda ternyata tidak diterima di perguruan tinggi itu. Apa yang akan Anda katakan? “Allah tidak mengabulkan doaku!”.

Namun sebenarnya Allah telah mengabulkannya! Yaitu dengan menghalangi kejelekan yang hampir menimpa Anda tanpa Anda sadari jika Anda diterima kuliah di tempat tersebut. Bisa jadi di PT itu Anda akan dipertemukan dengan teman-teman yang buruk akhlak dan perangainya, yang justru akan menggelincirkan Anda dalam kebinasaan dunia dan akhirat.

Atau, Allah menangguhkan jawaban doa tersebut di akhirat dalam bentuk pahala yang tidak pernah Anda sangka-sangka sebelumnya. Demikian menakjubkannya pahala itu, sampai-sampai Anda berharap agar doa-doa Anda tidak dikabulkan di dunia. Semua untuk simpanan akhirat saja.

www.wahdah.or.id

Juli 20, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Ilmu Melahirkan Amalan

Ilmu Melahirkan Amalan

Keutamaan Ilmu

Imam Ahmad mengatakan, “Menuntut ilmu dan mengajarkannya lebih utama daripada berjihad dan amal sunnah lainnya.” Karena ilmu itu adalah asas dan pokok segala urusan, bahkan dia merupakan ibadah paling agung serta kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang paling ditekankan. Bahkan dengan ilmulah Islam dan kaum muslimin tetap hidup.

Adapun ibadah-ibadah sunnah hanya akan memberikan manfaat bagi diri pelakunya sendiri dan tidak mengenai orang lain. Ilmu itulah warisan yang ditinggalkan para Nabi dan cahaya yang akan menerangi hati. Orang yang mewarisinya adalah golongan Allah dan pembela-Nya, mereka adalah orang yang paling utama di sisi Allah, paling dekat dengan-Nya, paling takut kepada-Nya serta paling tinggi derajatnya.” (lihat Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 11)

Ibarat Pohon yang Tak Berbuah

Namun ingat, bahwa ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu yang membuahkan amalan, itulah ilmu yang bermanfaat.

Syaikh Abdurrahman bin Qasim An Najdi rahimahullah mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu dicari demi mencapai sesuatu yang lain. Fungsi ilmu ibarat sebatang pohon, sedangkan amalan seperti buahnya. Maka setelah mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh.

Di dalam hadits disebutkan, “Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya.” Orang semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang yang dijadikan sebagai bahan bakar pertama-tama untuk menyalakan api neraka.

Di dalam sebuah sya’ir dikatakan,

Orang alim yang tidak mau

Mengamalkan ilmunya

Mereka akan disiksa sebelum

Disiksanya para penyembah berhala. (lihat Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12)

Ancaman Bagi Orang yang Berilmu Tapi Tidak Beramal

Syaikh Nu’man bin Abdul Karim Al Watr mengatakan, “Di dalam al-Qur’an Allah ta’ala sering sekali menyebutkan amal shalih beriringan dengan iman. Allah juga mencela orang-orang yang mengatakan apa-apa yang mereka tidak kerjakan. Dan Allah mengabarkan bahwa perbuatan seperti itu sangat dimurkai-Nya.

Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan. Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah karena kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS. Ash Shaff [61]: 2-3)

Di dalam shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan hadits Usamah bin Zaid, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat nanti akan ada seseorang yang didatangkan kemudian dilemparkan ke dalam neraka. Isi perutnya terburai, sehingga ia berputar-putar sebagaimana berputarnya keledai yang menggerakkan penggilingan. Penduduk neraka pun berkumpul mengerumuninya. Mereka bertanya, ‘Wahai fulan, apakah yang terjadi pada dirimu? Bukankah dahulu engkau memerintahkan kami untuk berbuat kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran?’. Dia menjawab, ‘Dahulu aku memerintahkan kalian berbuat baik akan tetapi aku tidak mengerjakannya. Dan aku melarang kemungkaran sedangkan aku sendiri justru melakukannya’.”

Oleh sebab itu ilmu harus diamalkan. Shalat harus ditegakkan. Zakat juga harus ditunaikan, dan lain sebagainya. Karena sesungguhnya Allah tidak memiliki tujuan lain dalam menciptakan makhluk kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 56)” (Lihat Taisirul Wushul, hal. 10)

Berilmu Tidak Beramal Menyerupai Kaum Yahudi

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Maksud perkataan beliau (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), “Beramal dengannya” adalah beramal dengan perkara-perkara yang dituntut oleh ilmu ini, yaitu beriman kepada Allah, menaati-Nya dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Beramal dengan ibadah yang khusus maupun ibadah yang berdampak keluar. Ibadah yang khusus seperti shalat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah yang berdampak keluar ialah seperti beramar ma’ruf dan nahi munkar, berjihad di jalan Allah dan lain sebagainya.

Pada hakikatnya amal adalah buah ilmu. Barang siapa yang beramal tanpa ilmu maka dia telah menyerupai orang Nasrani. Dan barang siapa yang berilmu tapi tidak beramal maka dia telah menyerupai orang Yahudi.” (Lihat Syarhu Tsalatsatul Ushul, hal. 22)

Belum Layak Disebut ‘Alim Jika Belum Beramal

Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Ilmu tidaklah dituntut melainkan supaya diamalkan. Yaitu dengan mewujudkan ilmu dalam praktek nyata, yang tampak dalam bentuk pola pikir seseorang dan perilakunya. Terdapat nash-nash syari’at yang mewajibkan untuk mengikuti ilmu dengan amalan dan agar akibat dari ilmu yang dipelajari muncul pada diri orang yang menuntut ilmu. Dan terdapat ancaman yang keras terhadap orang yang tidak beramal dengan ilmunya. Dan begitu pula bagi orang yang tidak memulai perbaikan dari dirinya sendiri sebelum memperbaiki diri orang lain. Dan dalil-dalil tentang hal itu sudah sangat populer dan dikenal.

Sungguh indah ucapan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seorang ‘Aalim itu masih dianggap Jaahil (bodoh) apabila dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka jadilah dia seorang yang benar-benar ‘Aalim.”

Ini adalah ungkapan yang sangat tepat. Karena apabila seseorang memiliki ilmu, akan tetapi dia tidak mengamalkan ilmu tersebut maka dia tetaplah disebut jahil. Sebab tidak ada perbedaan antara keadaan dirinya dengan keadaan orang yang jahil. Apabila dia berilmu tetapi tidak mengamalkannya maka orang yang alim itu belumlah pantas disebut sebagai orang berilmu yang sesungguhnya, kecuali bila di sudah beramal dengan ilmunya.” (Hushulul Ma’mul, hal. 16)

Beramal Adalah Sarana Mempertahankan Ilmu

Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Kemudian perlu dimengerti pula bahwa sebenarnya beramal itu juga termasuk penyebab ilmu tetap ada dan bertahan. Oleh sebab itulah, dapat anda jumpai bahwa orang yang beramal dengan ilmunya akan mudah mengeluarkan ilmunya kapanpun dia mau.

Adapun orang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmu yang didapatkannya sangat cepat hilang. Sebagian ulama salaf mengatakan, “Dahulu kami mencari sarana pendukung dalam rangka menghafalkan hadits dengan cara mengamalkannya.”

Selain itu, ulama lain mengatakan, “Barang siapa yang mengamalkan ilmu yang diketahuinya niscaya Allah akan mewariskan kepadanya ilmu lain yang belum dia ketahui. Dan barang siapa yang tidak beramal dengan ilmu yang sudah diketahuinya maka sangat dikhawatirkan Allah akan melenyapkan ilmu yang dimilikinya.”

Perkataan ini dianggap hadits oleh sebagian orang, padahal sebenarnya itu bukan hadits. Sebab itu hanyalah ungkapan yang disebutkan Syaikhul Islam rahimahullah. Makna dari kalimat ‘Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum dimilikinya’ adalah Allah akan menambahkan keimanan dan menyinari pandangan mata hatinya serta membukakan baginya berbagai jenis ilmu dan cabang-cabangnya.

Oleh sebab itulah anda temukan orang alim yang senantiasa beramal terus mendapatkan peningkatan dan memperoleh limpahan barakah dari Allah dalam hal waktu dan ilmunya. Dalil pernyataan ini terdapat di dalam kitabullah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tetap mencari petunjuk maka Allah akan tambahkan kepada mereka petunjuk dan Allah anugerahkan kepada mereka ketakwaan.” (QS. Muhammad [47]: 17)

Asy Syaukani mengatakan, “Artinya Allah pasti akan menambahkan kepada mereka keimanan, dan ilmu serta bashirah dalam beragama. Sehingga maknanya orang-orang yang mencari hidayah dengan meniti jalan kebaikan, beriman kepada Allah, dan mengamalkan perintah-Nya niscaya Allah akan tambahkan keimanan, ilmu dan bashirah dalam beragama kepada mereka”. Maka seorang muslim hendaknya mengenali urgensi mengamalkan ilmu.” (Hushulul Ma’mul, hal. 17)

Ilmu Akan Menjadi Pembela Atau Penentangmu

Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Dan hendaknya diingat bahwa seseorang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmunya itu kelak akan menjadi bukti yang menjatuhkannya.

Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.”

Ini bukan hanya berlaku bagi para ulama saja, sebagaimana anggapan sebagian orang. Akan tetapi semua orang yang mengetahui suatu perkara agama maka itu berarti telah tegak padanya hujjah. Apabila seseorang memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian atau khutbah Jum’at yang di dalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang dilakukannya itu adalah haram maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga sudah tegak dengan apa yang didengarnya tersebut.

Dan terdapat hadits yang sah dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan al-Qur’an itu adalah hujjah bagimu atau hujjah untuk menjatuhkan dirimu.” (HR. Muslim)” (Hushulul Ma’mul, hal. 18)

Hukum Bila Ilmu Tidak Diamalkan

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata, “Beramal dengan ilmu itu ada yang apabila ditinggalkan menyebabkan kekafiran, ada pula yang menyebabkan terjatuh dalam kemaksiatan, dan ada pula yang membuat dirinya terjatuh dalam perkara yang makruh, dan ada juga yang apabila ditinggalkan boleh. Lantas bagaimanakah maksudnya ?

Ilmu itu terbagi menjadi beberapa bagian. Ilmu tentang tauhid, yaitu meyakini bahwasanya Allah sajalah yang berhak diibadahi. Maka apabila seorang hamba mengetahui ilmu ini lalu tidak beramal dengan ilmu ini sehingga dia berbuat syirik kepada Allah jalla wa ‘ala maka ilmunya itu tidak akan bermanfaat baginya. Maka pada saat semacam itu bagi dirinya meninggalkan amalan menyebabkan dia kafir.

Dan terkadang bisa dikategorikan maksiat yaitu misalnya apabila seseorang mengetahui bahwa khamr haram diminum, dijual, dibeli, memberikan, memintanya, dan seterusnya. Kemudian dia menyelisihi ilmu yang dimilikinya padahal dia mengetahui keharamannya, tetapi dia tetap nekat melakukannya. Maka tindakannya ini dikategorikan kemaksiatan. Artinya dia telah terjatuh dalam dosa besar.

Dalam pembahasan ini, ada pula ilmu yang apabila tidak diamalkan dihukumi sebagai hal yang makruh. Seperti contohnya apabila seseorang mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dengan tata cara tertentu yang termasuk sunnah-sunnah shalat kemudian dia tidak mengamalkannya maka ini makruh hukumnya. Karena dia telah meninggalkan sebuah amal sunnah, bukan wajib. Sehingga hukum meninggalkannya adalah makruh saja sedangkan mengamalkannya hukumnya mustahab.

Dan terkadang beramal dengan ilmu itu mubah saja begitu pula mubah meninggalkannya. Seperti perkara-perkara mubah dan adat dan semacamnya. Seperti misalnya apabila sampai kepada kita hadits bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai pakaian dengan model tertentu, atau cara berjalan beliau adalah demikian dan demikian. Perkara-perkara ini adalah perkara manusiawi dan kebiasaan saja, sebagaimana sudah kita pelajari bahwa hal seperti ini tidak termasuk perkara yang kita diperintahkan untuk menirunya. Sehingga tidak mengerjakannya adalah mubah sebab seorang muslim memang tidak diperintahkan untuk meniru perkara-perkara semacam ini. Yaitu perkara-perkara seperti tata cara berjalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, suaranya, atau hal-hal lain yang termasuk perkara manusiawi dan kebiasaan saja yang dilakukan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mengamalkan hal itu mubah saja. Dan terkadang bisa juga diberi pahala apabila disertai niat ingin meneladani beliau. Karena itulah maka meninggalkan amal dalam hal ini juga mubah…” (Syarh Kitab Tsalatsatul Ushul, hal. 5)

Mengamalkan Ilmu Adalah Ciri Penuntut Ilmu Sejati

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Ustaimin rahimahullah menyebutkan bahwa salah satu adab yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang dimiliki. Beliau mengatakan, “Sudah seyogyanya penuntut ilmu beramal dengan ilmunya, baik yang terkait dengan masalah akidah, akhlak, adab maupun muamalah. Karena sesungguhnya inilah buah ilmu dan hasil yang bisa dipetik darinya.

“Seseorang yang membawa ilmu itu seperti orang yang membawa senjata. Bisa jadi senjata itu membelanya atau justru berbalik mengenai dirinya. Oleh sebab itulah terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Al-Qur’an adalah hujjah pembelamu atau yang menjatuhkanmu.” (HR. Muslim). Al-Qur’an akan membelamu jika kamu beramal dengannya. Dan dia akan berubah menjadi musuhmu apabila kamu tidak mengamalkannya…” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 32)

Mengamalkan Ilmu Adalah Ciri Da’i Sejati

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Salah satu akhlak dan sifat yang semestinya bahkan wajib dimiliki oleh da’i adalah beramal dengan isi dakwahnya. Dan hendaknya dia bisa menjadi teladan yang baik dalam perkara yang didakwahkannya. Bukan termasuk orang yang mengajak kepada sesuatu kemudian meninggalkannya. Atau melarang sesuatu tetapi kemudian dia sendiri justru melakukannya. Ini adalah keadaan orang-orang yang merugi, kita berlindung kepada Allah darinya.

Adapun keadaan orang-orang yang beriman dan beruntung adalah menjadi da’i kebenaran, mereka mengamalkan ajakannya, bersemangat melakukannya, bersegera mengerjakannya serta berusaha menjauhi perkara yang dilarangnya. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang kalian sendiri tidak mengerjakannya. Sungguh besar murka Allah atas perkataan kalian terhadap sesuatu yang kalian sendiri tidak kerjakan.” (QS. Ash Shaff [61]: 2-3)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman dalam konteks celaan terhadap kaum Yahudi karena mereka menyuruh orang untuk berbuat baik sementara mereka sendiri melupakan diri sendiri, “Apakah kalian menyuruh orang untuk mengerjakan kebaikan sedangkan kalian melupakan kewajiban diri kalian sendiri. Padahal kalian juga membaca Al Kitab. Tidakkah kalian memahami.” (QS. Al Baqarah [2]: 44)…” (Wujuubu Da’wah ilallaah wa Akhlaaqu Du’aat, hal. 52)

Mengamalkan Ilmu Adalah Bagian dari Shirathal Mustaqim

Setiap kali shalat kita senantiasa memohon petunjuk kepada Allah agar diberi hidayah menuju dan meniti jalan yang lurus atau shirathal mustaqim. Apakah yang dimaksud shirathal mustaqim ?

Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “(Shirathal Mustaqim) adalah jalan terang yang akan mengantarkan hamba menuju Allah dan masuk ke dalam Surga-Nya. Hakikat jalan itu adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39)

Kemudian Allah memperjelas hakikat shirathal mustaqim ini di dalam ayat berikutnya, “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” (QS. Al Fatihah)

Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Shirathalladziina an’amta ‘alaihim adalah jalan para Nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’ dan orang-orang shalih. “Bukan” jalan “orang-orang yang dimurkai” yaitu orang-orang yang telah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya, seperti halnya orang Yahudi dan orang lain yang memiliki ciri seperti mereka. Bukan pula jalan “orang-orang yang sesat” yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran di atas kebodohan dan kesesatan, seperti halnya orang Nasrani dan orang lain yang memiliki ciri seperti mereka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39)

Oleh sebab itulah kita dituntunkan untuk selalu meminta hidayah kepada Allah; baik hidayah ilmu (hidayatul irsyad) maupun hidayah amal (hidayatu taufiq) minimal 17 kali sehari semalam.

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Seandainya bukan karena betapa besar kebutuhan hamba untuk meminta hidayah sepanjang siang dan malam tentulah Allah tidak akan menuntunnya untuk melakukan hal itu.

Karena sesungguhnya seorang hamba senantiasa membutuhkan bimbingan Allah ta’ala pada setiap saat dan keadaan. Yaitu supaya dia memperoleh ketegaran di atas hidayah, mengokohkan diri di dalamnya, mendapatkan pencerahan, hidayah semakin bertambah dan terus menerus menyertai dirinya.

Karena seorang hamba tidak bisa menguasai barang sedikitpun manfaat maupun mudharat bagi dirinya sendiri, kecuali sebatas yang diinginkan Allah. Sehingga Allah ta’ala pun membimbingnya agar meminta petunjuk pada setiap waktu, yang dengan sebab itu Allah akan membentangkan pertolongan, ketegaran dan taufik kepadanya.

Maka orang yang berbahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah ta’ala untuk selalu meminta petunjuk, karena Allah menjamin akan mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya. Terlebih lagi apabila orang yang meminta sedang berada dalam keadaan terjepit dan sangat merasa butuh kepada Allah, di waktu siang maupun malam… (Tafsir Ibnu Katsir, I/37-38)

Wallahul muwaffiq.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel http://www.muslim.or.id

Juli 20, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

PERBEDAAN SI SUKSES & SI GAGAL

PERBEDAAN SI SUKSES & SI GAGAL

Oleh : Imam Zuhair

Pembina Tahfidz A-Qur’an di Makkah Al-Mukarramah

Sesungguhnya di kehidupan ini banyak terdapat orang yang berhasil, begitu pula orang-orang yang gagal. Maka tentunya terdapat banyak perbedaan antara yang berhasil dengan gagal. Dan di antara perbedaan yang paling mendasar adalah :

  • Orang yang berhasil adalah mereka yang berfikir dalam memecahkan masalah, adapun orang yang gagal adalah yang berfikir di dalam masalah.
  • Orang yang berhasil tidak akan habis pola pikirnya, sedang orang yang gagal tidak akan habis udzurnya.
  • Orang yang berhasil akan membantu orang lain, sedang orang yang gagal adalah orang yang masih diprediksi ada bantuan dari mereka.
  • Orang yang berhasil melihat sebuah jalan keluyar dalam setiap masalah, sedang orang yang gagal melihat masalah dalam setiap jalan keluar.
  • Orang yang berhasil berkata : Jalan keluar itu sulit tapi mungkin dilakukan, sedang orang yang gagal mengatakan : Jalan keluar mungkin dilakukan tapi sulit.
  • Orang yang berhasil memiliki cita-cita yang akan diwujudkannya, sedangkan orang yang gagal memiliki angan-angan serta mimpi yang mengacaukannya.
  • Orang yang berhasil mengatakan : pergaulilah manusia dengan pergaulan yang kamu suka diperlakukan dengannya, sedang orang yang gagal berkata : tipulah manusia sebelum mereka menipumu.
  • Orang yang berhasil melihat adanya cita-cita yang akan dating, sedang yang gagal melihat rasa sakit di dalamnya.
  • Orang yang berhasil melihat ke masa yang akan datang dan merencanakan langkah-langkah yang mungkin dilakukan, sedang orang yang gagal melihat ke masa lalu dan merencanakan langkah-langkah yang mustahil dilakukan.
  • Orang yang berhasil memilih apa yang dia katakan, sedang yang gagal mengatakan apa yang dia pilih.
  • Orang yang berhasil berdebat dengan kemampuan dan gaya bahasa yang lembut sedang yang gagal berdebat dengan kelemahan serta gaya bahasa yang kasar.
  • Orang yang berhasil berpegang dengan perkara yang bernilai dan meninggalkan perkara yang kecil, sedang yang gagal bergantung kepada perkara kecil dan meninggalkan perkara yang bernilai.
  • Orang yang berhasil membuat peristiwa, sedang yang gagal dibentuk oleh peristiwa.

Dikutip dari Majalah Qiblati Vo.02 / No.01 / 10-2006M / 09-1427H

Juli 20, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Begini Seharusnya Bernasihat

Begini Seharusnya Bernasihat
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Hasan dan Husein radhiyallahu   ‘anhuma berjalan melewati seorang lelaki tua yang sedang berwudhu, tapi tidak menyempurnakan wudhunya. Maka mereka berdua sepakat untuk menasihati orang tua tersebut dan mengajarinya tata cara berwudhu yang benar.
Beginilah Hasan dan Husein menasihati orang tua tersebut: Keduanya berkata, “Wahai, Paman! Coba perhatikan, siapa di antara kami yang paling sempurna wudhunya?” Kemudian keduanya berwudhu. Lelaki tua itu melihat keduanya berwudhu dengan sempurna. Akhirnya, dia pun sadar, sebenarnya dirinyalah yang tidak sempurna dalam berwudhu. Maka lelaki tua itu pun berterima kasih kepada Hasan dan Husein atas nasihat mereka berdua. Nasihat yang tidak melukai perasaannya sebagai orang yang lebih tua.

Di antara Tiang Islam Adalah Nasihat
Allah سبحانه وتعلى berfirman, artinya:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِ
“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Kepada siapa?” Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, imam-imam kaum Muslimin dan bagi kaum Muslimin umumnya.” (HR. Muslim).

Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu   ‘anhu, ia berkata,
بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِم[
“Saya membaiat Rasulullah صلى الله عليه وسلم untuk menunaikan shalat, membayar zakat, dan bernasihat kepada seluruh kaum Muslimin.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Kewajiban seorang Muslim ketika melihat saudaranya salah dalam suatu masalah, atau ijtihad, atau tingkah lakunya adalah mendatanginya dan menasihatinya dengan kelemahlembutan. Jika maksudnya betul-betul ingin menasihati saudaranya. Tapi, jika yang diinginkannya hanyalah fitnah dan tuduhan kepada saudaranya, maka Allah I Mahamengetahui apa yang tersembunyi di hati.

Ali radhiyallahu  ‘anhu pernah berkata,

« الْمُؤْمِنُوْنَ نَصَحَةٌ وَالْمُنَافِقُوْنََ غَشَشَةٌ »

“Orang-orang Mukmin itu jujur (memberi nasihat) kepada saudaranya, sedangkan orang-orang munafik berlaku curang”

Maka jika Anda melihat ada orang yang mengkritik saudaranya dan memperbincang-kannya dalam majelis-majelis terbuka, tapi tidak berani menasihatinya di hadapannya, maka mereka itu adalah para penipu yang mengatasnamakan pembelaan terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Imam Syafi’i berkata,
تَغَمَّدَني بنُصْحِــكَ فــي انفـــِرادِي
وجَنِّبْنِــي النصيحــةَ فِــي الجَمَاعةْ
فـإنَّ النُّصْــحَ بَيـْن النــاسِ نــوعٌ
مــن التـَّوْبيخ لا أَرْضَى اســتِمَـاعَه
فإن خالفتني وعصيتَ أمري
فلا تجزع إذا لم تُعْطَ طاعة

“Hendaklah engkau sengaja mendatangiku untuk memberi nasehat ketika aku sendirian
Hindarilah memberikan nasehat kepadaku di tengah khalayak ramai
Karena sesungguhnya memberi nasehat di hadapan banyak orang
Sama saja dengan memburuk-burukkan, saya tidak suka mendengarnya
Jika engkau menyalahi saya dan tidak mengikuti ucapanku
Maka jangalah engkau kaget apabila nasehatmu tidak ditaati.”

ETIKA BERNASIHAT
Seorang pemberi nasihat dalam menyampaikan nasihat-nasihatnya, harus memperhatikan beberapa hal, khususnya jika yang akan dinasihatinya adalah seorang ulama atau da’i. Ulama maupun da’i adalah manusia biasa, bisa salah bisa pula benar.

Dari Anas radhiyallahu   ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
]كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ[
“Setiap keturunan Adam bersalah. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Keyakinan kita, para sahabat radhiyallahu  ‘anhu dengan segala keutamaan dan kemuliaan mereka bukanlah orang-orang yang maksum. Maka bagaimana mungkin kita menganggap para ulama atau duat itu maksum?

Di antara adab dalam bernasihat adalah:

1. Ikhlas
Ini adalah perkara hati, berkaitan dengan motivasi Anda dalam menyampaikan nasihat kepada seseorang. Lisan bisa saja berkata, “Saya menasihati Anda ikhlas karena Allah.” Namun hakekatnya, hanya Allah yang tahu, kemudian Anda sendiri.

Untuk mengungkap hakekat dari motivasi Anda dalam memberikan nasihat, serta untuk menjaga keikhlasan dalam hati Anda, sebelum menyampaikan nasihat, mari kita jawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

a. Apakah Anda cinta karena Allah kepada saudara Anda yang akan Anda nasihati? Jika Anda cinta kepadanya, maka ini adalah alamat yang baik. Namun jika tidak, maka lanjutkan dengan menjawab pertanyaan berikut;

b. Apakah Anda berharap, jika saja ada orang lain yang siap menyampaikan nasihat yang sama kepada orang yang akan Anda nasihati? Jika jawabannya adalah “ya”, maka pertanda yang baik. Tapi, jika jawabannya justru sebaliknya, maka teruskan menjawab pertanyaan selanjutnya.

c. Apakah Anda merasa terenyuh dengan keadaan orang yang akan Anda nasihati, atau Anda justru merasa senang dan Anda menganggap ini adalah kesempatan untuk menasihatinya? Jika jawabannya adalah Anda merasa terenyuh, maka ini adalah sebuah pertanda yang baik. Namun jika jawabannya adalah “tidak”, maka lanjutkan dengan menjawab soal berikut ini,

d. Apakah Anda berharap, sekiranya Anda menemukan kesempatan untuk menyampaikan nasihat itu dalam keadaan Anda hanya berdua dengannya? Jika jawabannya “ya”, maka pertanda baik. Jika tidak demikian, maka lanjutkan dengan pertanyaan berikut,

e. Apakah jika hal itu dilakukan oleh orang yang paling Anda cintai, Anda pun akan menasihatinya dengan cara yang sama? Kalau jawaban Anda adalah, “Ya”, maka alhamdulillah, ini adalah sebuah kebaikan. Jika tidak, maka mari kita renungkan peringatan-peringatan penting berikut ini:

Ikhlas adalah syarat diterimanya suatu amalan. Dari Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
] إِنَّمَا الأَعْمالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى [

“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang hanya memperoleh (sesuai) apa yang ia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Dari Abu Umamah , Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

]إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ[

“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal seseorang kecuali didasari keikhlasan dan mengharapkan wajah Allah.” (HR. Abu Dawud, An-Nasai, dan selainnya dengan sanad yang baik).

Apakah kita tahu, bahwa obat dari keikhlasan adalah dengan memutuskan ketamakan terhadap dunia, dan semata-mata mengharapkan akhirat, hingga hal itu lebih mendominasi dalam hati kita?
Apakah kita tahu, sekian banyak amalan yang kecil bernilai besar di sisi Allah karena niat, dan berapa banyak amalan yang besar bernilai kecil di sisi-Nya karena niat pula?

Seorang ulama disebutkan di sisi Imam Ahmad rahimahullah sedangkan beliau dalam keadaan duduk bersandar. Maka beliau pun segera memperbaiki duduknya sambil berkata, “Tidak layak jika orang-orang shaleh disebutkan namanya sedangkan kita duduk bersandar.”

Imam At-Tirmidzi berkata, “Tidak seorang imam besar pun yang selamat dari kesalahan dan kekeliruan.”

Maka bagaimana dengan para ulama dan duat di zaman ini? Dan bagaimana pula dengan Anda, wahai pemberi nasihat yang mulia?
2. Dahulukan Persangkaan Baik
Wajib mendahulukan persangkaan baik kepada sesama kaum Muslimin, khususnya para ulama dan duat. Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعلى, artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahapenerima Taubat lagi Mahapenyayang.” (QS. Al Hujurat: 12).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

]إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ[

“Berhati-hatilah kalian terhadap buruk sangka, karena buruk sangka adalah perkataan yang paling dusta.” (Muttafaqun ‘alaihi). Wallahu Waliyyut Taufiq. Insya Allah bersambung, dari berbagai sumber (Al Fikrah)

http://www.wahdah.or.id

Juli 20, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Deja Vu dan Asal-Usulnya

Deja Vu dan Asal-Usulnya

Diambil dari xnet.kp.org.

Hampir semua dari kita pernah mengalami apa yang dinamakan deja vu: sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Peristiwa ini bisa berupa sebuah tempat baru yang sedang dikunjungi, percakapan yang sedang dilakukan, atau sebuah acara TV yang sedang ditonton. Lebih anehnya lagi, kita juga seringkali tidak mampu untuk dapat benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah adanya sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.

Keanehan fenomena deja vu ini kemudian melahirkan beberapa teori metafisis yang mencoba menjelaskan sebab musababnya. Salah satunya adalah teori yang mengatakan bahwa deja vu sebenarnya berasal dari kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Bagaimana penjelasan ilmu psikologi sendiri?

Terkait dengan Umur dan Penyakit Degeneratif

Pada awalnya, beberapa ilmuwan beranggapan bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima oleh sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yang sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun lalu ditemukan bahwa orang butapun bisa mengalami deja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaannya.

Selain itu, sebelumnya Chris Moulin dari University of Leeds, Inggris, telah menemukan pula penderita deja vu kronis: orang-orang yang sering dapat menjelaskan secara rinci peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terjadi. Mereka merasa tidak perlu menonton TV karena merasa telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal belum), dan mereka bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati ‘penyakit’nya karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan hal-hal rinci selama kunjungannya! Alih-alih kesalahan persepsi atau delusi, para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak dan ingatan kita.

Baru-baru ini, sebuah eksperimen pada tikus mungkin dapat memberi pencerahan baru mengenai asal-usul deja vu yang sebenarnya. Susumu Tonegawa, seorang neuroscientist MIT, membiakkan sejumlah tikus yang tidak memiliki dentate gyrus, sebuah bagian kecil dari hippocampus, yang berfungsi normal. Bagian ini sebelumnya diketahui terkait dengan ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra untuk dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang cocok, situasi ini akan ‘didaftarkan’ sebagai pengalaman baru dan dicatat untuk pembandingan di masa depan.

Menurut Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama seperti manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa situasi. Namun, seperti yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate gyrus-nya tidak berfungsi normal kemudian mengalami kesulitan dalam membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama. Hal ini, tambahnya, dapat menjelaskan mengapa pengalaman akan deja vu meningkat seiring bertambahnya usia atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti Alzheimer: kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat kedua hal tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’ atau ‘lama’.

Menciptakan ‘Deja Vu’ dalam Laboratorium

Salah satu hal yang menyulitkan para peneliti dalam mengungkap misteri deja vu adalah kemunculan alamiahnya yang spontan dan tidak dapat diperkirakan. Seorang peneliti tidak dapat begitu saja meminta partisipan untuk datang dan ‘menyuruh’ mereka mengalami deja vu dalam kondisi lab yang steril. Deja vu pada umumnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk terus-menerus menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan berat. Selain itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan kemana-mana setiap saat bukanlah hal yang efisien dan efektif untuk dilakukan. Namun beberapa peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan yang mirip deja vu.

Seperti yang dilaporkan LiveScience, Kenneth Peller dari Northwestern University menemukan cara yang sederhana untuk membuat seseorang memiliki ‘ingatan palsu’. Para partisipan diperlihatkan sebuah gambar, namun mereka diminta untuk membayangkan sebuah gambar yang lain sama sekali dalam benak mereka. Setelah dilakukan beberapa kali, para partisipan ini kemudian diminta untuk memilih apakah suatu gambar tertentu benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan. Ternyata gambar-gambar yang hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim benar-benar mereka lihat. Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika secara kebetulan sebuah peristiwa yang dialami seseorang serupa atau mirip dengan gambaran yang pernah dibayangkan.

LiveScience juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan Chris Moulin dari University of Leeds dalam menciptakan sensasi deja vu melalui hipnosis. Para partisipan pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan daftar kata-kata. Kemudian mereka dihipnotis agar mereka ‘melupakan’ kata-kata tersebut. Ketika para partisipan ini ditunjukkan daftar kata-kata yang sama, setengah dari mereka melaporkan adanya sensasi yang serupa seperti dejavu, sementara separuhnya lagi sangat yakin bahwa yang mereka alami adalah benar-benar deja vu. Menurut mereka hal ini terjadi karena area otak yang terkait dengan familiaritas diganggu kerjanya oleh hipnosis.

Sumber:

  • Some Imagination! How Memory Fails Us – LiveScience
  • Patients Suffer Deja Vu… Over and Over – LiveScience
  • Blind Man Has Deja Vu, Busting a Myth – LiveScience
  • Origin of Deja Vu Pinpointed – LiveScience

Juli 9, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Memenangkan Hati Customer berarti Memenangkan Bisnis

Memenangkan Hati Customer berarti Memenangkan Bisnis

Ketika sedang melakukan searching artikel motivasi di internet, mata dan hati saya tertarik untuk membaca sebuah judul yang sangat inspiratif “Memenangkan Hati Customer, Memenangkan bisnis di 2009”. Tulisan itu berasal dari sebuah blog milik seorang Praktisi, Penulis, dan Pembicara Di Bidang Manajemen Korporasi yang bernama Djajendra. Berikut isi artikelnya :

“Memenangkan Hati Customer, Memenangkan bisnis di 2009”

Kalau Anda rajin mengikuti berita-berita nasional dan internasional, Anda pasti merasa was-was dan ragu menghadapi prospek bisnis Anda di 2009. Sebab, ada begitu banyak ramalan dan prediksi ekonomi yang cendrung menakut-nakuti setiap pengusaha. Yang perlu dipahami saat ini adalah bagaimana caranya di tahun 2009 Anda mampu memenangkan hati customer, agar penjualan Anda mencapai target yang optimal. Saatnya Anda berkomitmen bahwa tahun 2009 adalah tahun menjual. Mulailah semua rencana dan strategi bisnis Anda dengan fokus untuk menjual produk dan jasa secara terus-menerus, dengan segenap potensi dan kekuatan dari sumber daya yang Anda miliki.
Jangan bilang nasehat saya ini teori, tapi miliki keyakinan untuk berkonsentrasi dan berjuang secara total untuk menjual secara optimal. Hanya dengan menjual Anda dapat terhindar dari berbagai macam prediksi dan ramalan negatif. Jadi, tetaplah semangat, tetaplah percaya diri, tetaplah yakin, dan tetaplah berantusias, untuk menjual produk dan jasa Anda dengan strategi dan langkah-langkah jitu yang kreatif. Jangan pernah bilang ini semua tak mungkin, tapi bilanglah ini semua mungkin dan bisa Anda kerjakan. Anda adalah pejuang bisnis sejati, pejuang bisnis sejati tidak akan takut digertak oleh ramalan dan prediksi buruk; pejuang bisnis sejati selalu bekerja keras untuk memenangkan semua tugas dan tanggungjawab; pejuang bisnis sejati tidak pernah terkulai lemah, serta takut untuk menghadapi berbagai berita negatif, yang merusak semangat dan rasa percaya diri sumber daya manusia. Anda adalah seorang pejuang bisnis sejati, yang selalu harus bangkit dan menyusun kekuatan untuk menjawab semua hambatan dan tantangan yang ada. Jangan pusingkan diri Anda dengan berbagai berita buruk, tapi fokuskan semua energi dan kekuatan untuk menjual sambil memenangkan hati customer. Ingat, semakin banyak Anda bisa menjual, semakin jauh krisis dari bisnis Anda. Berilah inspirasi-inspirasi penuh semangat kepada semua sumber daya manusia, untuk meraih kesuksesan dengan cara menyingkirkan semua prediksi dan ramalan negatif di tahun 2009. Yakinkan diri Anda bahwa dengan berfokus dan berkonsentrasi pada penjualan, Anda pasti akan meraih sukses yang luar biasa besar. (http://djajendra.blog.co.uk.)

Bagi saya, tulisan Djajendra di atas sangat menarik dan inspiratif. Bagaimana tidak, di masa krisis seperti ini orang-orang di seantero dunia merasa cemas dan mengkhawatirkan dampak sosial yang akan terjadi jika kondisi ekonomi di tahun 2009 sampai 2010 akan semakin memburuk. Apalagi berita-berita di media massa tentang prediksi-prediksidari para pakar ekonomi justru lebih banyak pesimis daripada optimis. Ditambah lagi berita tentang PHK di berbagai perusahaan ternama dan besar, sehingga hal-hal seperti ini semakin membuat masyarakat dunia terutama para pegawai atau karyawan. Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah penguatan dan pencerahan sehingga para pegawai atau karyawan tetap optimis, inovatif dan sehat dalam berpikir. Maka tidak sepantasnya jika saat ini kita harus bingung dan khawatir berlarut-larut memikirikan akibat yang akan ditimbulkan dari krisis global ini sehingga justru akan mematikan ide dan semangat kerja kita. Krisis ini adalah tantangan buat kita. Mau tidak mau, kita harus melewatinya. Orang yang menyukai tantangan adalah orang yang menyukai keberhasilan. Memang rasa pesimis tidak bisa hilang begitu saja. Apalagi saat ini banyak pelanggan kita yang terguncang dengan krisis ini dan kemudian berusaha melakukan cutting cost yang ujung-ujungnya menyebabkan penggunaan produk dan jasa kita jadi berkurang.

Tapi jangan karena keadaan seperti itu, kita kemudian tidak memiliki semangat untuk tetap melakukan pendekatan dan penawaran kepada pelanggan maupun calon pelanggan. Berikut beberapa hal yang penting dilakukan untuk bisa memenangkan bisnis di tengah krisis ini khususnya bagi perusahaan penjual jasa dan produk :

1. Membuka jaringan bisnis seluas-luasnya

Bukalah jaringan bisnis seluas-luasnya karena dengan membuka jaringan bisnis seluas-luasnya, maka kesempatan untuk menjual produk akan semakin besar pula. Jangan hanya mengandalkan keunggulan produk tanpa adanya usaha untuk memperluas jaringan bisnis. Apalagi jika usaha untuk melakukan pendekatan dan penawaran produk kepada pelanggan sangat lemah, suatu hal yang mustahil akan meningkatkan penjualan. Perlu dipahami bahwa perluasan jaringan bisnis bukan hanya tugas orang-orang marketing atau sales saja tetapi semua lini hendaknya mengambil bagian yang tentunya disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan setiap individu. Minimal sebagai sumber informasi atau informan. Dan informasi inilah yang kemudian akan ditindaklanjuti oleh team Sales dan Marketing atau orang-orang yang berkompeten untuk itu. Oleh sebab itu perlu penanaman wawasan kepada semua karyawan tentang pentingnya sebuah jaringan bisnis sehingga karyawan bisa memanfaatkan potensi yang dia miliki namun tetap mengedepankan cara-cara yang sehat dan kompetitif.

2. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Pelanggan.

Banyak cara yang bisa dilakukan dalam hal melayani pelanggan dengan baik Tersenyum saja ketika bertemu pelanggan itu sudah merupakan bentuk pelayanan. Atau ketika ada pelanggan yang membutuhkan informasi atau menyampaikan keluhan, baik secara langsung ,melalui email, maupun melalui telephone, kemudian kita melayani dengan penuh empati, ini juga merupakan bagian dari pelayanan yang baik. Mulailah melayani pelanggan dari hal yang paling kecil meskipun itu hanya dengan memberikan sebuah senyum. Jika senyum itu tulus, niscaya akan memberikan kesan yang dalam bagi orang yang diberikan senyum. Hindari berdebat atau menyalahkan pelanggan dengan cara yang kasar sehingga menyebabkan dia tersinggung. Hal ini akan menyebabkan pelanggan tidak simpatik dan pergi meninggalkan kita. Ingat bahwa diri kita akan menjadi image perusahaan di mata customer. Image baik atau buruk tergantung bagaimana kita berperilaku di mata pelanggan. Semakin bermutu pelayanan kita maka akan semakin mendekatkan hati pelanggan kepada kita.

3. Meningkatkan Kualitas Pekerjaan.

Pekerjaan yang berkualitas akan memberikan kepuasan bagi pelanggan. Karena semakin berkualitas pekerjaan kita sebagai penyedia layanan maka akan semakin menambah keuntungan pelanggan. Baik dari segi daya tahan, penghematan biaya, efisiensi waktu dan lain-lain. Untuk itu perlu usaha yang maksimal dan berkelanjutan dalam memperbaiki kualitas pekerjaan kita.

4. Menigkatkan Kerjasama Team atau Teamwork.

Banyak artikel, ceramah, training dan lain sebagainya berkaitan dengan pentingnya kerjasama team ini. Memang tidak semudah membalik telapak tangan untuk mendapatkan sebuah kerjasama team yang baik. Tetapi jika ada komitmen yang kuat untuk mencapainya, niscaya hasilnya akan terlihat.

Sulit dipercaya jika ada orang yang mengatakan bahwa meraih sukses itu bisa dilakukan seorang diri. Sukses tidak terjadi di ruang hampa. Sukses memerlukan kerja sama dan bantuan orang lain. Sukses terjadi akibat persinggungan dan persentuhan kita dengan pihak lain.

Kalau kita melihat latar belakang suksesnya perusahaan internet terbesar saat ini seperti Google dan Yahoo, pendirinya itu tidak sendiri. Demikian juga perusahaan software terbesar Microsof di mana penemunya adalah Bill Gates dan Paul Allen yang saling mengenal saat masih SMP. Saat itu pun mereka sudah mahir membuat software. Lalu saat kuliah di Universitas Harvard, Bill Gates bertemu dengan Steve Ballmer. Ketiga orang itu yang kemudian saling bekerjasama dan membesarkan Microsoft sampai sukses seperti sekarang ini. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa Tidak ada sejarahnya sebuah bisnis yang berhasil hanya dikelola sendirian. Di belakang sebuah usaha yang sukses, pastilah berdiri kumpulan orang yang mendukung bisnis itu. Dan kumpulan orang itulah yang dinamakan Team.

Dari gambaran tentang suksesnya Google dan Yahoo di atas sebagai pencerahan buat kita bawah untuk mencapai sukses dibutuhkan kerja team. Karena di dalam team terdiri dar beberapa orang yang tentunya memiliki potensi, pikiran dan ide yang berbeda. Jika ketiga hal ini dikumpulkan dari orang-orang di dalam team kita untuk mencapai suatu goal atau target, maka kesulitan apapun kita bisa melaluinya.

Juli 9, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Pengaruh Berpikir Positif dan Negatif dalam kehidupan sehari-hari

Pengaruh Berpikir Positif dan Negatif dalam kehidupan sehari-hari

Para ahli motivasi dan kesehatan berpendapat bahwa berfikir positif akan melahirkan kebiasaan-kebiasaan positif seperti : jiwa yang selalu optimis, percaya diri, kreatif dan lain sebagianya. Sebaliknya pikirin negatif akan melahirkan kebiasaan-kebiasaan negative pula seperti : jiwa yang pesimis, rendah diri, reaktif dan lain-lain.

Terkait dengan berfikir positif dan negative ini, seorang imuwan Jepang yang bernama Dr. Masaru Emoto, menulis sebuah buku yang berjudul “The True Power of Water”. Dalam buku ini dibahas mengenai hasil penemuannya setelah melakukan penelitian terhadap air. Bersama temannya seorang ilmuwan yang ahli mikroskop bernama Kazuya Ishibashi berhasil mendapatkan foto-foto kristal air pertama di dunia dengan reaksi atau respons terhadap kata-kata yang diucapkan manusia baik yang positif maupun negatif. Sebelumnya air dibekukan pada suhu -25 derajat celcius.

Dari penelitan Masaru Emoto itu didapatkan bahwa  air mampu merespon kata-kata negatif maupun posistif. Jika kita mengatakan kepada air kata-kata “Cinta atau terimakasih” maka hasil foto kristal air membentuk segi enam yang indah. Sebaliknya jika kita mengatakan kepada air “kamu bodoh” maka kristal air justru membentuk gambar yang jelek sekali. Dan ketika dibacakan do’a maka kristal air membentuk gambar yang sangat indah. Kesimpulannya bahwa air memiliki respon terhadap kata-kata sama halnya seperti manusia. Mengapa? Tubuh kita sendiri terdiri dari 70% air. Jika kita memiliki pikiran negatif maka air dalam tubuh kita juga akan membentuk pola yang negatif. Akibatnya malah bisa menimbulkan penyakit atau masalah lainnya.

Berikut gambar kristal air dengan beberapa perlakuan :

1

Gambar Kristal air tanpa perlakuan

2

Gambar Kristal air jika kita mengucapkan kata-kata kebaikan

3

Gambar kristal air ketika diberi doa

4

Gambar Kristal air jika kita mengucapkan kata-kata yang tidak baik

Dari hasil Penelitian ini maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa bahwa ucapan, pikiran dan perbuatan yang tidak baik ternyata mampu mengalirkan energi negatif yang merubah segala sesuatunya menjadi tidak baik.

Menurut para ahli kesehatan bahwa stress ternyata memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap timbulnya penyakit karena pikiran yang stress akan memancarkan gelombang energi negatif ke seluruh tubuh. Sebaliknya jika kita berfikir positif, maka energi positif akan memancarkan gelombang energi yang posisitif sehingga kesehatan akan semakin baik karena air dalam tubuh kita akan membentuk pola energi yang baik juga. Demikian gelombang energi positif ini akan mempengaruhi lingkungan sekitar kita hingga berdampak positif bagi kita. Hasilnya adalah kesuksesan hanya akan terjadi jika kita berpikiran positif.

Bagaimana jika kita memiliki kebiasaan atau perangai yang buruk? Tentunya orang-orang yang disekitar kita akan banyak mencemooh, membenci, mengumpat, bahkan mungkin ada orang yang akan mendo’akan hal-hal buruk agar menimpa diri kita. Dan sebaliknya jika kita memiliki kebiasaan dan akhlak yang baik maka orang-orang di sekitar kita akan mencintai, menyayangi dan mendo’akan untuk hal-hal yang baik.

Dengan membiasakan diri berpikir positif, maka sesungguhnya kita akan mampu menghambat energi negatif yang akan menghantam diri kita, entah berupa penyakit stress, maupun yang lainnya. Hal ini telah dibuktikan pula bahwa air yang telah diberi doa/kalimat positif ternyata masih tetap membentuk kristal meski kemudian diperdengarkan kata-kata negatif.

Untuk menjadi positif maka kita harus memiliki pikiran dan kebiasaan yang positif. Memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tetapi untuk berhasil, kita harus mencoba dan mencoba lagi. Kita tidak boleh menyerah. Kita harus sabar. Kita harus tetap bersemangat dan perlu komitment yang sungguh-sunggu dalam diri untuk mencapai hal itu. Sebagaimana menurut Stephen R Covey dalam bukunya the seven habits bahwa ”Kebiasaan sulit berubah, tetapi bisa dirubah dengan komitmen yang sungguh-sungguh.”. Kebiasaan adalah aktivitas yang dikerjakan tanpa perlu berpikir dulu

Jadi tunggu apa lagi !?? berpikirlah positif mulai sekarang dan tularkanlah energi positif itu kepada orang-orang di sekeliling kita seperti keluarga, rekan kerja, dan lingkungan kita.

Sumber :

–         Buku “The True Power of Water” (Dr. Masaru Emoto)

–         The Seven Habits (Stephen R Covey)

–         Kutipan dari berbagai sumber


Juli 9, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar