Kamalsuraba's Blog

Berbagi ilmu melalui blog

Meraih Cinta Allah, Rasulullah dan Manusia dengan Akhlaq yang Baik

Akhlaq adalah satu bentuk yang kuat di dalam jiwa sebagai sumber perbuatan otomatis dengan sukarela, baik atau buruk, indah atau jelek, sesuai pembawaannya, ia menerima pengaruh pendidikan kepadanya baik maupun jelek. Di dalam agama Islam, akhlaq menempati kedudukan yang tinggi dan merupakan penyempurna iman seseorang. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Kemuliaan orang adalah agamanya, harga dirinya (kehormatannya) adalah akalnya, sedangkan ketinggian kedudukannya adalah akhlaknya”. (HR. Ahmad dan Al Hakim)

Akhlaq ini berbanding lurus dengan keimanan. Semakin tinggi iman seseorang maka akan semakin baik pula aklaqnya. Apakah itu akhlaq kepada Allah, manusia, binatang bahkan benda mati. Jadi suatu hal yang sangat janggal jika ada orang yang mengaku agamanya sudah sempurna tapi akhlaq atau perilakunya di dunia banyak menyakiti manusia, merusak lingkungan, menciptakan ketakutan dengan kejahatannya dan lain-lain. Orang-orang seperti ini akan memperoleh kedudukan paling buruk di sisi Allah sebagaimana dalam hadits Rasulullah yang artinya :

”Sesungguhnya orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah ialah yang dijauhi manusia karena ditakuti kejahatannya.” (Mutafaq’alaih)

Jika kita rajin membaca hadits-hadits dan sejarah Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam kita akan mendapatkan bahwa akhlaq beliau sangat sempurna. Jangankan sahabat-sahabat beliau, musuh-musuhnya pun mengakui kebaikan akhlaqnya. Waktu beliau masih muda, dia digelari Al-Amin (Yang Jujur) karena kejujurannya. Banyak orang-orang yang mengikuti apa yang beliau ajarkan saat itu karena tertarik dan kagum terhadap kebaikan akhlaqnya.

Saat ini kita mungkin mengaku sebagai pengikut Muhammad yang setia, tapi kita tidak berusaha mengikuti akhlaq dan apa-apa yang beliau ajarkan. Hal yang paling mudah dan murahpun kadang-kadang sulit kita lakukan. Misalnya saja tersenyum atau berwajah ceria jika berjumpa dengan orang-orang, padahal dalam hadits dikatakan bahwa senyum adalah sedekah. Sebaliknya kita malah berwajah muram. Belum lagi tutur kata yang kasar, hati yang cepat panas, berprasangka buruk, hampir semua kita miliki. Padahal Rasulullah telah memberitakan melalui hadits yang artinya :

” Di antara akhlak seorang mukmin adalah berbicara dengan baik, bila mendengarkan pembicaraan tekun, bila berjumpa orang dia menyambut dengan wajah ceria dan bila berjanji ditepati”. (HR. Ad-Dailami).

Kalau kita berani mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad, maka kita juga harus berani mengikuti akhlaq beliau yang mulia. Memiliki akhalq yang baik tidak hanya menguntungkan kita di akhirat tapi juga di dunia. Sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain maka seharusnya kita berusaha dengan memperbaiki akhlaq. Untuk menarik simpati manusia tidak bisa dengan harta atau uang tetapi dengan akhlaq yang baik sebagaimana disabdakan Rasulullah yang artinya :

” Kamu tidak bisa memperoleh simpati semua orang dengan hartamu tetapi dengan wajah yang menarik) dan dengan akhlak yang baik.” (HR. Abu Ya’la dan Al-Baihaqi)”.

Beberapa contoh akhlaq yang baik seperti : sabar, jujur, dermawan, tawakkal kepada Allah, mengutamakan orang lain, adil dan seimbang dalam memutuskan perkara, kasih sayang, malu berbuat maksiat, berkata lemah lembut, suka menolong dan murah senyum.

Sedangkan contoh akhlaq yang buruk adalah : kedzoliman, dengki, menipu, riya (beramal agar dilihat orang lain atau pamer), ujub (bangga diri), malas, ghibah (menceritakan kejelekan orang lain), namimah (mengadu domba), kikir, sombong, khianat, pembohong, berprasangka buruk dan masih banyak lagi.

Sebagai kesimpulan bahwa kedudukan akhlaq ini sangat tinggi di hadapan Allah. Jika  ingin dicintai oleh Allah & Rasul-Nya maka kita harus memiliki dan mempertahankan akhlaq yang baik. Bahkan untuk memperoleh simpati manusia pun bukan dengan harta atau wajah yang menarik (cantik atau tampan), akan tetapi dengan akhlaq yang baik.(kms)

Oktober 7, 2009 Posted by | Uncategorized | 1 Komentar

BANGKAI IKAN…? HALAL!

BANGKAI IKAN…? HALAL!

Seringkali kita lihat ada ikan Paus/Hiu terdampar di pantai. Dan biasanya hanya dikubur begitu saja. Padahal tidak mengana mengkonsumsinya. Sebab hewan-hewan laut punya hukum tersendiri dalam Islam.

Apa itu Hewan Laut?

Bicara tentang hewan laut dalam pandangan syariat Islam tidak lepas dari pengertian laut dalam bahasa Arab dan istilah syariat. Kata “Al0bahru” dalam bahasa ‘Arab bermakna air yang luas dan banyak sekali, namun banyak dipakai pada air laut yang asin, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Mu’jam Al Wasith. Sedang dalam istilah para ulama adalah air yang banyak dan luas berisi ikan dan hewan-hewan air yang lain.

Dalam syariat dan istilah para ulama, hanya dikenal dua jenis hewan ditinjau dari tempat hidupnya yaitu hewan darat (“Al-Barr”) dan hewan laut (“Al-Bahru”) sebagaimana firman Allah,

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam ihram. Dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Al-Maidah : 96).

Binatang burlan laut dalam ayat ini mencakup semua binatang yang hidup di air.

Apabila melihat kepada kebiasaan hidup di air, hewan buruan ini dibagi menjadi dua kategori :

  1. yang hanya dapat hidup di air, apabila keluar dari air maka tidak bisa hidup lama seperti ikan dengan semua jenisnya.
  2. yang hidup di air namun mampu hidup di darat, seperti buaya dan kepiting.

Dengan demikian jelaslah hewan laut meliputi seluruh binatang yang hidup di air, baik ia hanya dapat hidup di air saja atau mampu bertahan di daratan.

Bolehkah Dikonsumsi?

Para ulama fikih berbeda pendapat tentang hal ini, namun yang rajah (kuat) adalah kebolehan memakan seluruh hewan laut berdasarkan keumuman firman Allah,

“Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat papal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.”(Faathir) : 12).

Dan firman-Nya, “Dihalalkan bagimu binatang burlan laut dan makanan (yang beasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan…” (Al-Maidah : 96)

Ibnu Abbas menjelaskan pengertian firman Allah : …… hádala binatang yang diburu dan …… adalah yang terapung di atasnya (bangkai).

Hal ini juga didukung dengan keumuman sabda beliau ketika ditanya tentang air laut, “Airnya suci dan bangkainya halal.” (Riwayat Abu Dawud).

Bahkan beliau pun minta daging ikan Paus itu kepada para sabatina dan ikut memakannya, sebagaimana dikisahkan Jabir, “Kami berperang dipimpin oleh Abu Ubaidah, lalu kami sngat kelaparan. Kemudian laut melempar seekor ikan mati yang tidak pernah kami lihat sebelumnya dinamakan Al-Ambar (sejenis ikan Paus), lalu kami memakannya selama setengah bulan. Abu ubaidah mengambil salah satu tulangnya lalu seorang berkendaraan lewat di bawahnya. Abu Ubaidah menyatakan, ‘Makanlah!’ Ketika kami sampai di Madinah kami kisahkan hal tersebut lepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lali beliau bersabda, “Makanlah rezeki yang Allah karuniakan. Berilah untuk kami makan apabila kalian membawanya! Lalu seorang membawakannya dan beliau pun memakannya.” (Riwayat Al-Bukhari).

Hukum Mengkonsumsi Hewan Amfibi (Hidup Di Dua Alam)

Demikian juga dalam permasalahan memakan hewan yang hidup di dua alam ini seperti Penyu, Kepiting dan lain-lainnya. Para ulama bersilang pendapat menjadi empat pendapat :

  1. Halal seluruhnya, ini pendapat madzhab Malikiyah.
  2. Halal seluruhnya kecuali katak dalam semua kondisi dan burung laut apabila tidak disembelih, ini pendapat madzhab Syafi’iyah.
  3. Tidak boleh memakannya tanpa disembelih, kecuali kepiting karena termasuk hewan yang tidak memiliki darah mengalir. Ini pendapat madzhab Hambaliah.
  4. Tidak boleh sama sekali. Ini pendapat madzhab Hanafiyah.

Yang kuat, Insyaallah hádala kehalalannya. Selama tidak ada dalia khusus untuk jenis tertentu darinya (dalia pengharamannya). Wallahu A’lam. (Abu Abbas)

Dikutip dari : Majalah Nikah Vol. 5, No. 4, Juli 2006, Jumadil Akhir 1427 H

Agustus 8, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

BAGAIMANA MENJADI PEGAWAI YANG AMANAH?

BAGAIMANA MENJADI PEGAWAI YANG AMANAH?

Oleh

Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abad

MUKADIMAH

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas penyempurna dan pelengkap agama dan penghulu para rasul serta imam orang-orang yang bertaqwa nabi kita, Muhammad dan atas keluarga serta shahabat-shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Kiamat. Amma ba’du

Ini adalah risalah singkat berupa nasihat untuk para pegawai dan karyawan dalam menunaikan pekerjaan-pekerjaan yang diamanahkan kepada mereka. Aku menulisnya dengan harapan agar mereka mendapat manfaat darinya, dan supaya mambantu mereka untuk mengikhlaskan niat-niat mereka serta bersungguh-sungguh dalam bekerja dan menjalankan kewajiban-kewajiban mereka. Aku memohon kepada Allah agar semua mendapatkan taufik dan bimbingan-Nya.

[1]. AYAT-AYAT MENGENAI KEWAJIBAN MENUNAIKAN AMANAH

Diantara ayat-ayat mengenai kewajiban menunaikan amanah dan larangan berkhianat adalah firman Allah Azza wa Jalla.

“Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. [An-Nisa : 58]

Ibnu Katsir berkata dalam tafsir ayat ini, “Allah Ta’ala memberitakan bahwasanya Ia memerintahkan untuk menunaikan amanah-amanah kepada ahlinya. Di dalam hadits yang hasan dari Samurah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tunaikan amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah kamu menghianati orang yang mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlussunnan]

Dan ini mencakup semua bentuk amanah-amanah yang wajib atas manusia mulai dari hak-hak Allah Azza wa Jalla atas hamba-hamba-Nya seperti : shalat, zakat, puasa, kaffarat, nazar-nazar dan lain sebagainya. Dimana ia diamanahkan atasnya dan tidak seorang hamba pun mengetahuinya, sampai kepada hak-hak sesama hamba, seperti ; titipan dan lain sebagainya dari apa-apa yang mereka amanahkan tanpa mengetahui adanya bukti atas itu. Maka Allah memerintahkan untuk menunaikannya, barangsiapa yang tidak menunaikannya di dunia diambil darinya pada hari Kiamat”.

Dan firman-Nya.

“Artinya : Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui” [Al-Anfal : 27]

Ibnu Katsir berkata, “Dan khianat mencakup dosa-dosa kecil dan besar yang lazim (yang tidak terkait dengan orang lain) dan muta’addi (yang terkait dengan orang lain). Berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas mengenai tafsir ayat ini, “Dan kalian mengkhianati amanah-amanah kalian”. Amanah adalah ama-amal yang diamanahakn Allah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu faridhah ( yang wajib), Allah berfirman : “Janganlah kamu mengkhianati” maksudnya : janganlah kamu merusaknya”. Dan dalam riwayat lain ia berkata, “(Janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul) Ibnu Abbas berkata, “(Yaitu) dengan meninggalkan sunnahnya dan bermaksiat kepadanya”.

Dan firman-Nya.

“Artinya : Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” [Al-Ahzab : 72]

Ibnu Katsir berkata setelah menyebutkan pendapat-pendapat mengenai tafsir amanah, diantaranya ketaatan, kewajiban, din (agama), dan hukum-hukum had, ia berkata, “Dan semua pendapat ini tidak saling bertentangan, bahkan ia sesuai dan kembali kepada satu makna, yaitu at-taklif serta menerima perintah dan larangan dengan syaratnya. Dan jika melaksanakan ia mendapat pahala, jika meninggalkannya dihukum, maka manusia menerimanya dengan kelemahan, kejahilan, dan kezalimannya kecuali orang-orang yang diberi taufik oleh Allah, dan hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan”.

Firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janji-janji” [Al-Mukminun : 8]

Ibnu Katsir berkata, “Yaitu, apabila mereka diberi kepercayaan mereka tidak berkhianat, dan apabila berjanji mereka tidak mungkir, ini adalah sifat-sifat orang mukminin dan lawannya adalah sifat-sifat munafikin, sebagaimana tercantum dalam hadis yang shahih.

“Tanda munafik ada tiga : apabila berbicara berdusta, apabaila berjanji ia mungkir dan apabila diberi amanat dia berkhianat”.

Dalam riwayat lain.

“Apabila berbicara ia berdusta, dan apabila berjanji ia mungkir dan apabila bertengkar ia berlaku keji”.

[2]. HADITS-HADITS TENTANG MENUNAIKAN AMANAH

Diantara hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kewajiban menjaga amanah dan ancaman dari meninggalkannya adalah sebagai berikut.

Hadits Pertama.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ketika Nabi di suatu majelis berbicara kepada orang-orang, datanglah seorang Arab badui lantas berkata. ‘Kapan terjadinya Kiamat? Rasulullah terus berbicara, sebagian orang berkata, ‘Beliau mendengar apa yang dikatakannya dan beliau membencinya’, sebagian lain mengatakan, ‘Bahkan ia tidak mendengar’, sehingga tatkala beliau menyelesaikan pembicaraannya beliau berkata, ‘Mana orang yang bertanya tentang hari Kiamat?’ Ia berkata, ‘Ini aku wahai Rasulullah’, Rasul bersaba, ‘Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’ Beliau menjawab, ‘Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah hari Kiamat” [Diriwayatkan Al-Bukhari]

Hadits Kedua

Dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Rasulullah telah bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud 3535 dan At-Tirmidzi 1264, ia berkata, “ini adalah hadits hasan gharib”. Lihatlah, As-Silsilah Ash-Shahihah oleh Al-Albani 424]

Hadits Ketiga

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Yang pertama hilang dari urusan agama kalian adalah amanah, dan yang terakhirnya adalah shalat” [Diriwayatkan oleh Al-Khara-ithi dalam Makarimil Akhlak hal. 28. Lihat, As-Silsilah Ash-Shahihah oleh Al-Albani 1739]

Hadits Keempat.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Tanda seorang munafik ada tiga : apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mungkir, dan apabila diberi amanah ia berkhianat” [Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim]

[3]. PEGAWAI YANG MENUNAIKAN PEKERJAANNYA DENGAN IKHLAS MENDAPAT BALASAN DUNIA DAN AKHIRAT

Apabila seorang pegawai menunaikan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh mengharapkan pahala dari Allah, maka ia telah menunaikan kewajibannya dan berhak mendapatkan balasan atas pekerjaannya di dunia dan beruntung dengan pahala di kampung akhirat. Telah datang nash-nash syar’iyah yang menunjukkan bahwasanya upah dan pahala atas apa yang dikerjakan oleh seorang dari pekerjaan didapat dengan ikhlas dan mengharapkan wajah Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepada-Nya pahala yang besar” [An-Nisa : 114]

Imam Bukhari (55) dan Imam Muslim (1002) telah meriwayatkan dari Abu Mas’ud bahwasanya Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apabila seseorang menafkahkan untuk keluarganya dengan ikhlas maka itu baginya adalah sedekah”.

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqash Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Dan tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah karena mengharapkan wajah Allah melainkan engkau mendapatkan pahala dengannya hingga sesuap yang engkau suapkan di mulu istrimu” [Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim]

Nash-nash ini menunjukkan bahwasanya seorang Muslim apabila ia menunaikan kewajibannya terhadap sesama hamba lepaslah tanggung jawabnya, dan bahwasanya ia hanya akan mendapatkan balasan dan pahala dengan ikhlas dan mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

[4]. MENJAGA JAM KERJA UNTUK KEPENTINGAN PEKERJAAN

Wajib atas setiap pegawai dan pekerja untuk menggunakan waktu yang telah dikhususkan bekerja pada pekerjaan yang telah dikhususkan untuknya. Tidak boleh ia menggunakannya pada perkara-perkara lain selain pekerjaan yang wajib ditunaikannya pada waktu tersebut. Dan tidak boleh ia menggunakan waktu itu atau sebagian darinya untuk kepentingan pribadinya, atau kepentingan orang lain apabila tidak ada kaitannya dengan pekerjaan ; karena jam kerja bukanlah milik pegawai atau pekerja, akan tetapi untuk kepentingan pekerjaan yang ia mengambil upah dengannya.

Syaikh Al-Mu’ammar bin Ali Al-Baghdadi (507H) telah menasihati Perdana Menteri Nizhamul Muluk dengan nasihat yang dalam dan berfedah. Di antara yang dikatakannya diawal nasihatnya itu.

“Suatu hal yang telah maklum hai Shodrul Islam! Bahwasanya setiap individu masyarakat bebas untuk datang dan pergi, jika mereka menghendaki mereka bisa meneruskan dan memutuskan. Adapun orang yang terpilih menjabat kepemimpinan maka dia tidak bebas untuk bepergian, karena orang yang berada di atas pemerintahan adalah amir (pemimpin) dan dia pada hakikatnya orang upahan, ia telah menjual waktunya dan mengambil gajinya. Maka tidak tersisa dari siangnya yang dia gunakan sesuai keinginannya, dan dia tidak boleh shalat sunat, serta I’tikaf… karena itu adalah keutamaan sedangkan ini adalah wajib”.

Di antara nasihatnya, “Maka hiudpkanlah kuburanmu sebagaimana engkau menghidupkan istanamu” [1]

Dan sebagaimana seseorang ingin mengambil upahnya dengan sempurna serta tidak ingin dikurangi bagiannya sedikitpun, maka hendaklah ia tidak mengurangi sedikitpun dari jam kerjanya untuk sesuatu yang bukan kepentingan kerja. Allah telah mencela Al-Muthaffifin (orang-orang yang curang) dalam timbangan, yang menuntut hak mereka dengan sempurna dan mengurangi hak-hak orang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah oran-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. Yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” [Al-Muthaffifin : 1-6]

[Disalin dari kitab Kaifa Yuaddi Al-Muwazhzhaf Al-Amanah, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abad, Penerjemah Agustimar Putra, Penerbit Darul Falah, Jakarta 2006]

_________

Foote Note

[1]. Dzailul Thabaqat Al-Hanabilah oleh Ibnu Rajab (1/107)

Sumber : http://www.almanhaj.or.id/


Agustus 8, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Agar Kita Turut Merasakan Indahnya Ramadhan

Agar Kita Turut Merasakan Indahnya Ramadhan

الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، أما بعد

Tamu agung itu sebentar lagi akan tiba, sudah siapkah kita untuk menyambutnya? Bisa jadi inilah Ramadhan terakhir kita sebelum menghadap kepada Yang Maha Kuasa. Betapa banyak orang-orang yang pada tahun kemarin masih berpuasa bersama kita, melakukan shalat tarawih dan idul fitri di samping kita, namun ternyata sudah mendahului kita dan sekarang mereka telah berbaring di ‘peristirahatan umum’ ditemani hewan-hewan tanah. Kapankah datang giliran kita?

Dalam dua buah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kondisi dua golongan yang saling bertolak belakang kondisi mereka dalam berpuasa dan melewati bulan Ramadhan:

Golongan pertama digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Golongan kedua digambarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

رب صائم حظه من صيامه الجوع والعطش

“Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah), al-Hakim dan dia menshahihkannya. Al-Albani berkata: “Hasan Shahih.”

Akan termasuk golongan manakah kita? Hal itu tergantung dengan usaha kita dan taufik dari Allah ta’ala.

Bulan Ramadhan merupakan momentum agung dari ladang-ladang yang sarat dengan keistimewaan, satu masa yang menjadi media kompetisi bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.

Oleh sebab itu, para ulama telah menggariskan beberapa kiat dalam menyongsong musim-musim limpahan kebaikan semacam ini, supaya kita turut merasakan nikmatnya bulan suci ini. Di antara kiat-kiat tersebut (Agar Ramadhan Kita Bermakna Indah, nasihat yang disampaikan oleh Syaikh kami Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili pada malam Jum’at 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun Nurain Madinah. Plus penjelasan-penjelasan lain dari penyusun):

Kiat Pertama: Bertawakal kepada Allah Ta’ala

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Dalam menyambut kedatangan musim-musim ibadah, seorang hamba sangat membutuhkan bimbingan, bantuan dan taufik dari Allah ta’ala. Cara meraih itu semua adalah dengan bertawakal kepada-Nya.”

Oleh karena itu, salah satu teladan dari ulama salaf -sebagaimana yang dikisahkan Mu’alla bin al-Fadhl- bahwa mereka berdoa kepada Allah dan memohon pada-Nya sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba agar dapat menjumpai bulan mulia ini dan memudahkan mereka untuk beribadah di dalamnya. Sikap ini merupakan salah satu perwujudan tawakal kepada Allah.

Ibnu Taimiyah menambahkan, bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu amalan, dia berkepentingan dengan beberapa hal yang bersangkutan dengan sebelum beramal, ketika beramal dan setelah beramal:

a. Adapun perkara yang dibutuhkan sebelum beramal adalah menunjukkan sikap tawakal kepada Allah dan semata-mata berharap kepada-Nya agar menolong dan meluruskan amalannya. Ibnul Qayyim memaparkan bahwa para ulama telah bersepakat bahwa salah satu indikasi taufik Allah kepada hamba-Nya adalah pertolongan-Nya kepada hamba-Nya. Sebaliknya, salah satu ciri kenistaan seorang hamba adalah kebergantungannya kepada kemampuan diri sendiri.

Menghadirkan rasa tawakal kepada Allah adalah merupakan suatu hal yang paling penting untuk menyongsong musim-musim ibadah semacam ini; untuk menumbuhkan rasa lemah, tidak berdaya dan tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan sempurna, melainkan semata dengan taufik dari Allah. Selanjutnya kita juga harus berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan supaya Allah membantu kita dalam beramal di dalamnya. Ini semua merupakan amalan yang paling agung yang dapat mendatangkan taufik Allah dalam menjalani bulan Ramadhan.

Kita amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah ketika akan beramal karena kita adalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang lemah:

وخلق الإنسان ضعيفا

“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa: 28)

Jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufik-Nya pada kita.

b. Di saat mengerjakan amalan ibadah, poin yang perlu diperhatikan seorang hamba adalah: ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua hal inilah yang merupakan dua syarat diterimanya suatu amalan di sisi Allah. Banyak ayat dan hadits yang menegaskan hal ini. Di antaranya: Firman Allah ta’ala,

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين

“Padahal mereka tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak.” (HR. Muslim)

c. Usai beramal, seorang hamba membutuhkan untuk memperbanyak istigfar atas kurang sempurnanya ia dalam beramal, dan juga butuh untuk memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah Yang telah memberinya taufik sehingga bisa beramal. Apabila seorang hamba bisa mengombinasikan antara hamdalah dan istigfar, maka dengan izin Allah ta’ala, amalan tersebut akan diterima oleh-Nya.

Hal ini perlu diperhatikan betul-betul, karena setan senantiasa mengintai manusia sampai detik akhir setelah selesai amal sekalipun! Makhluk ini mulai menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan, “Hai fulan, kau telah berbuat begini dan begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan… Kau telah shalat malam di bulan suci… Kau telah menunaikan amalan ini dan itu dengan sempurna…” Dan terus menghias-hiasinya terhadap seluruh amalan yang telah dilakukan sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan takjub kepada diri sendiri) yang menghantarkannya ke dalam lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah ta’ala.

Seharusnya kita tidak terjebak dalam perangkap ‘ujub; pasalnya, orang yang merasa silau dengan dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) serta silau dengan amalannya berarti dia telah menunjukkan kenistaan, kehinaan dan kekurangan diri serta amalannya.

Hati-hati dengan tipu daya setan yang telah bersumpah:

فبما أغويتني لأقعدن لهم صراطك المستقيم. ثم لآتينهم من بين أيديهم ومن خلفهم وعن أيمانهم وعن شمائلهم

“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka (para manusia) dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka.” (QS. Al-A’raf: 16-17)

Kiat Kedua: Bertaubat Sebelum Ramadhan Tiba

Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya: firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At Tahrim: 8)

Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada seorang pun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

كل بنى آدم خطاء وخير الخطائين التوابون

“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan isnadnya oleh Syaikh Salim Al Hilal)

Dosa hanya akan mengasingkan seorang hamba dari taufik Allah, sehingga dia tidak kuasa untuk beramal saleh, ini semua hanya merupakan sebagian kecil dari segudang dampak buruk dosa dan maksiat (lihat Dampak-Dampak dari Maksiat dalam kitab Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa’ karya Ibnul Qayyim, dan Adz-Dzunub Wa Qubhu Aatsaariha ‘Ala Al-Afrad Wa Asy-Syu’ub karya Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad hal: 42-48). Apabila ternyata hamba mau bertaubat kepada Allah ta’ala, maka prahara itu akan sirna dan Allah akan menganugerahi taufik kepadanya kembali.

Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya hakikatnya adalah: bertaubat kepada Allah dari seluruh jenis dosa. Imam Nawawi menjabarkan: Taubat yang sempurna adalah taubat yang memenuhi empat syarat:

  1. Meninggalkan maksiat.
  2. Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.
  3. Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
  4. Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya (Lihat: Riyaadhush Shaalihiin, karya Imam an-Nawawi hal: 37-38)

Ada suatu kesalahan yang harus diwaspadai: sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad bulat untuk tidak berbuat maksiat, namun hanya di bulan Ramadhan saja, setelah bulan suci ini berlalu dia kembali berbuat maksiat. Sebagaimana taubatnya para artis yang ramai-ramai berjilbab di bulan Ramadhan, namun setelah itu kembali ‘pamer aurat’ sehabis idul fitri.

Ini merupakan suatu bentuk kejahilan. Seharusnya, tekad bulat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari maksiat, harus tetap menyala baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan sesudahnya.

Kiat Ketiga: Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Keutuhan Pahalanya

Sisi lain yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini berkategori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

“Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak membutuhkan puasanya).” (HR. Bukhari)

Jabir bin Abdullah menyampaikan petuahnya:

إذا صمت فليصم سمعك وبصرك ولسانك عن الكذب والمحارم ودع أذى الجار, وليكن عليك وقار وسكينة يوم صومك, ولا تجعل يوم صومك ويوم فطرك سواء

“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram dan janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama.” (Lathaa’if al-Ma’arif, karya Ibnu Rajab al-Hambali, hal: 292)

Orang yang menahan lisannya dari ghibah dan matanya dari memandang hal-hal yang haram ketika berpuasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih baik daripada orang yang berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi! Inilah realita mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan kemaksiatan.

Umar bin Abdul ‘Aziz pernah ditanya tentang arti takwa, “Takwa adalah menjalankan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram”, jawab beliau. Para ulama menegaskan, “Inilah ketakwaan yang sejati. Adapun mencampur adukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, maka ini tidak masuk dalam bingkai takwa, meski dibarengi dengan amalan-amalan sunnah.”

Oleh sebab itu para ulama merasa heran terhadap sosok yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap dosa. Ibnu Rajab al-Hambali bertutur, “Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan, minuman dan jima’ (hubungan suami istri), ini sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal mubah yang diperbolehkan. Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya diperbolehkan seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa.”

Kiat Keempat: Memprioritaskan Amalan yang Wajib

Hendaknya orang yang berpuasa itu memprioritaskan amalan yang wajib. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah amalan-amalan yang wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam suatu hadits qudsi, bahwa Allah ta’ala berfirman:

وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه

“Dan tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan.” (HR. Bukhari)

Di antara aktivitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan adalah: mendirikan shalat berjamaah lima waktu di masjid (bagi kaum pria), berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan takbiratul ihram. Telah diuraikan dalam sebuah hadits:

من صلى لله أربعين يوما في جماعة يدرك التكبيرة الأولى كتب له براءتان: براءة من النار وبراءة من النفاق

“Barang siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah dan selalu mendapatkan takbiratul ihram imam, akan dituliskan baginya dua ‘jaminan surat kebebasan’ bebas dari api neraka dan dari nifaq.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani)

Seandainya kita termasuk orang-orang yang amalan sunnahnya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita berusaha untuk memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjamaah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya menjaga amalan-amalan yang wajib di bulan Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.

Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati orang yang melaksanakan shalat tarawih dengan penuh semangat, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun yang disayangkan, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan shalat wajib dengan dalih sebagai persiapan diri untuk shalat tarawih!!? Ini jelas-jelas merupakan suatu kejahilan dan bentuk peremehan terhadap kewajiban! Sungguh hanya mendirikan shalat lima waktu berjamaah tanpa diiringi dengan shalat tarawih satu malam, lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih atau shalat malam, namun berdampak menyia-nyiakan shalat lima waktu. Bukan berarti kita memandang sebelah mata terhadap shalat tarawih, akan tetapi seharusnya seorang muslim menggabungkan kedua-duanya; memberikan perhatian khusus terhadap amalan-amalan yang wajib seperti shalat lima waktu, lalu baru melangkah menuju amalan-amalan yang sunnah seperti shalat tarawih.

Kiat Kelima: Berusaha untuk Mendapatkan Lailatul Qadar

Setiap muslim di bulan berkah ini berusaha untuk bisa meraih lailatul qadar. Dialah malam diturunkannya Al-Qur’an (QS. Al-Qadar: 1, dan QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam turunnya para malaikat dengan membawa rahmat (QS. Al-Qadar: 4), dialah malam yang berbarakah (QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam yang lebih utama daripada ibadah seribu bulan! (83 tahun plus 4 bulan) (QS. Al-Qadar: 3). Barang siapa yang beribadah pada malam ini dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh-Nya (HR. Bukhari dan Muslim).

Mendengar segunung keutamaan yang dimiliki malam mulia ini, seyogyanya seorang muslim memanfaatkan kesempatan emas ini untuk meraihnya.

Di malam ke berapakah lailatul qadar akan jatuh?

Malam lailatul qadar akan jatuh pada malam-malam sepuluh akhir bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:

تحروا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان

“Carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tepatnya pada malam-malam yang ganjil di antara malam-malam yang sepuluh tersebut, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

تحروا ليلة القدر في الوتر من العشر الأواخر من رمضان

“Carilah lailatul qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Tapi di malam manakah di antara malam-malam yang ganjil? Apakah di malam 21, malam 23, malam 25, malam 27 atau malam 29? Pernah di suatu tahun pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lailatul qadar jatuh pada malam 21, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri bahwa di pagi hari tanggal 21 Ramadhan tahun itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إني أريت ليلة القدر

“Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatul qadar (malam tadi).” (HR.Bukhari dan Muslim)

Pernah pula di suatu tahun lailatul qadar jatuh pada malam 27. Ubai bin Ka’ab berkata:

والله إني لأعلمها وأكثر علمي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين

“Demi Allah aku mengetahuinya (lailatul qadar), perkiraan saya yang paling kuat dia jatuh pada malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk bangun malam di dalamnya, yaitu malam dua puluh tujuh.” (HR. Muslim)

Pada tahun yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya untuk mencari lailatul qadar pada tujuh malam terakhir dari bulan Ramadhan:

فمن كان متحريها فليتحرها في السبع الأواخر

“Barang siapa yang ingin mencarinya (lailatul qadar) hendaklah ia mencarinya pada tujuh malam terakhir (dari bulan Ramadhan).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cara memadukan antara hadits-hadits tersebut di atas: dengan mengatakan bahwa lailatul qadar setiap tahunnya selalu berpindah-pindah dari satu malam yang ganjil ke malam ganjil lainnya, akan tetapi tidak keluar dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan (Lihat Fathul Baari karya Ibnu Hajar, dan Asy-Syarh al-Mumti’ karya Syaikh al-Utsaimin (6/493-495))

Di antara hikmah dirahasiakannya waktu lailatul qadar adalah:

  1. Agar amal ibadah kita lebih banyak. Sebab dengan dirahasiakannya kapan waktu lailatul qadar, kita akan terus memperbanyak shalat, dzikir, doa dan membaca Al-Qur’an di sepanjang malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan terutama malam yang ganjil.
  2. Sebagai ujian dari Allah ta’ala, untuk mengetahui siapa di antara para hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam mencari lailatul qadar dan siapa yang bermalas-malasan serta meremehkannya (Majaalisu Syahri Ramadhaan, karya Syaikh al-’Utsaimin hal: 163)

Maka seharusnya kita berusaha maksimal pada sepuluh hari itu; menyibukkan diri dengan beramal dan beribadah di seluruh malam-malam itu agar kita bisa menggapai pahala yang agung itu. Mungkin saja ada orang yang tidak berusaha mencari lailatul qadar melainkan pada satu malam tertentu saja dalam setiap Ramadhan dengan asumsi bahwa lailatul qadar jatuh pada tanggal ini atau itu, walaupun dia berpuasa Ramadhan selama 40 tahun, barangkali dia tidak akan pernah sama sekali mendapatkan momen emas itu. Selanjutnya penyesalan saja yang ada…

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan teladan:

(كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر شد مئزره وأحيا ليله وأيقظ أهله) متفق عليه

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memasuki sepuluh (terakhir Ramadhan) beliau mengencangkan ‘ikat pinggangnya’, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kiat Keenam: Jadikan Ramadhan Sebagai Madrasah untuk Melatih Diri Beramal Saleh, yang Terus Dibudayakan Setelah Berlalunya Bulan Suci Ini

Bulan Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya kita belajar mendidik diri untuk rajin beribadah, dengan harapan setelah kita tamat dari madrasah itu, kebiasaan rajin beribadah akan terus membekas dalam diri kita hingga kita menghadap kepada Yang Maha Kuasa.

Allah ta’ala memerintahkan:

واعبد ربك حتى يأتيك اليقين

“Dan sembahlah Rabbmu sampai ajal datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99)

Tatkala al-Hasan al-Bashri membaca ayat ini beliau menjelaskan,

إن الله لم يجعل لعمل المؤمن أجلا دون الموت

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan batas akhir bagi amal seorang Mukmin melainkan ajalnya.”

Maka jangan sampai amal ibadah kita turut berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadhan. Kebiasaan kita untuk berpuasa, shalat lima waktu berjamaah di masjid, shalat malam, memperbanyak membaca Al-Qur’an, doa dan zikir, rajin menghadiri majelis taklim dan gemar bersedekah di bulan Ramadhan, mari terus kita budayakan di luar Ramadhan.

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس, وكان أجود ما يكون في رمضان

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan sekali di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut? Dia pun menjawab:

بئس القوم لا يعرفون الله إلا في رمضان

“Alangkah buruknya tingkah mereka, mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!”

Merupakan ciri utama diterimanya puasa kita di bulan Ramadhan dan tanda terbesar akan keberhasilan kita meraih lailatul qadar adalah: berubahnya diri kita menjadi lebih baik daripada kondisi kita sebelum Ramadhan.

Wallahu ta’ala a’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shabihi ajma’in.

***

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

Agustus 8, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Manfaat Sholat Secara Medis (Ilmiah!)

Manfaat Sholat Secara Medis (Ilmiah!)

Dr. Bahar Azwar, SpB-Onk, seorang dokter spesialis bedah-onkologi (

bedah tumor ) lulusan FK UI dalam bukunya ” Ketika Dokter Memaknai

Sholat ” mampu menjabarkan makna gerakan sholat. Bagaimana sebenarnya manfaat sholat dan gerakan-gerakannya secara medis?

Selama ini sholat yang kita lakukan lima kali sehari, sebenarnya telah memberikan investasi kesehatan yang cukup besar bagi kehidupan kita. Mulai dari berwudlu ( bersuci ), gerakan sholat sampai dengan salam memiliki makna yang luar biasa hebatnya baik untuk kesehatan fisik, mental bahkan keseimbangan spiritual dan emosional. Tetapi sayang sedikit dari kita yang memahaminya. Berikut rangkaian dan manfaat kesehatan dari rukun Islam yang kedua ini.

Manfaat Wudlu Kulit merupakan organ yang terbesar tubuh kita yang fungsi utamanya membungkus tubuh serta melindungi tubuh dari berbagai ancaman kuman, racun, radiasi juga mengatur suhu tubuh, fungsi ekskresi ( tempat pembuangan zat-zat yang tak berguna melalui pori-pori ) dan media komunikasi antar sel syaraf untuk rangsang nyeri, panas, sentuhan secara tekanan.

Begitu besar fungsi kulit maka kestabilannya ditentukan oleh pH (derajat keasaman) dan kelembaban. Bersuci merupakan salah satu metodemenjaga kestabilan tersebut khususnya kelembaban kulit. Kalu kulit sering kering akan sangat berbahaya bagi kesehatan kulit terutama mudahterinfeksi kuman.

Dengan bersuci berarti terjadinya proses peremajaan dan pencucian kulit, selaput lendir, dan juga lubang-lubang tubuh yang berhubungan dengan dunia luar (pori kulit, rongga mulut, hidung, telinga). Seperti kita ketahui kulit merupakan tempat berkembangnya banyak kuman dan flora normal, diantaranya Staphylococcus epidermis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Mycobacterium sp (penyakit TBC kulit). Begitu juga dengan rongga hidung terdapat kuman Streptococcus pneumonia (penyakit pneumoni paru), Neisseria sp, Hemophilus sp.Seorang ahli bedah diwajibkan membasuh kedua belah tangan setiap kali melakukan operasi sebagai proses sterilisasi dari kuman. Cara ini baru dikenal abad ke-20, padahal umat Islam sudah membudayakan sejak abad ke-14 yang lalu. Luar Biasa!!

Keutamaan Berkumur Berkumur-kumur dalam bersuci berarti membersihkan rongga mulut dari penularan penyakit. Sisa makanan sering mengendap atau tersangkut di antara sela gigi yang jika tidakdibersihkan ( dengan berkumur-kumur atau menggosok gigi) akhirnya akanmenjadi mediasi pertumbuhan kuman. Dengan berkumur-kumur secara benar

dan dilakukan lima kali sehari berarti tanpa kita sadari dapat mencegah

dari infeksi gigi dan mulut. Istinsyaq berarti menghirup air dengan

lubang hidung, melalui rongga hidung sampai ke tenggorokan bagian

hidung (nasofaring). Fungsinya untuk mensucikan selaput dan lendir

hidung yang tercemar oleh udara kotor dan juga kuman. Selama ini kita

ketahui selaput dan lendir hidung merupakan basis pertahanan pertama

pernapasan. Dengan istinsyaq mudah-mudahan kuman infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) dapat dicegah. Begitu pula dengan pembersihan

telinga sampai dengan pensucian kaki beserta telapak kaki yang tak

kalah pentingnya untuk mencegah berbagai infeksi cacing yang masih

menjadi masalah terbesar di negara kita.

Manfaat Kesehatan Sholat Berdiri lurus adalah

pelurusan tulang belakang, dan menjadi awal dari sebuah latihan

pernapasan, pencernaan dan tulang. Takbir merupakan latihan awal

pernapasan. Paru-paru adalah alat pernapasan, Paru kita terlindung

dalam rongga dada yang tersusun dari tulang iga yang melengkung

dan tulang belakang yang mencembung. Susunan ini didukung oleh dua jenis

otot yaitu yang menjauhkan lengan dari dada (abductor) dan

mendekatkannya (adductor). Takbir berarti kegiatan mengangkat lengan

dan merenggangkannya, hingga rongga dada mengembang seperti halnya

paru-paru. Dan mengangkat tangan berarti meregangnya otot-otot bahu

hingga aliran darah yang membawa oksigen menjadi lancar. Dengan ruku’,

memperlancar aliran darah dan getah bening ke leher oleh karena

sejajarnya letak bahu dengan leher. Aliran akan semakin lancar bila

ruku’ dilakukan dengan benar yaitu meletakkan perut dan dada lebih

tinggi daripada leher. Ruku’ juga mengempiskan pernapasan. Pelurusan

tulang belakang pada saat ruku’ berarti mencegah terjadinya pengapuran.

Selain itu, ruku’ adalah latihan kemih (buang air kecil) untuk mencegah keluhan prostat. Pelurusan tulang belakang akan mengempiskan ginjal.Sedangkan penekanan kandung kemih oleh tulang belakang dan tulangkemaluan akan melancarkan kemih. Getah bening (limfe) fungsi utamanyaadalah menyaring dan menumpas kuman penyakit yang berkeliaran didalamdarah.

Sujud Mencegah Wasir Sujud mengalirkan getah bening

dari tungkai perut dan dada ke leher karena lebih tinggi. Dan

meletakkan tangan sejajar dengan bahu ataupun telinga, memompa getah

bening ketiak ke leher. Selain itu, sujud melancarkan peredaran darah

hingga dapat mencegah wasir. Sujud dengan cepat tidak bermanfaat. Ia

tidak mengalirkan getah bening dan tidak melatih tulang belakang dan

otot. Tak heran kalau ada di sebagian sahabat Rasul menceritakan bahwa

Rasulullah sering lama dalam bersujud.

Duduk di antara dua sujud dapat mengaktifkan

kelenjar keringat karena bertemunya lipatan paha dan betis sehingga

dapat mencegah terjadinya pengapuran. Pembuluh darah balik di atas

pangkal kaki jadi tertekan sehingga darah akan memenuhi seluruh telapak

kaki mulai dari mata kaki sehingga pembuluh darah di pangkal kaki

mengembang. Gerakan ini menjaga supaya kaki dapat secara optimal

menopang tubuh kita. Gerakan salam yang merupakan penutup sholat,

dengan memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri bermanfaat untuk menjaga

kelenturan urat leher. Gerakan ini juga akan mempercepat aliran getah

bening di leher ke jantung.

Manfaat Sholat Malam Malam hari biasanya dingin dan

lembab. Kalau ditanya, paling enak tidur di waktu tersebut. Banyak

lemak jenuh yang melapisi saraf kita hingga menjadi beku. Kalau tidak

segera digerakkan, sistem pemanas tubuh tidak aktif, saraf menjadi

kaku, bahkan kolesterol dan asam urat merubah menjadi pengapuran. Tidur

di kasur yang empuk akan menyebabkan urat syaraf yang mengatur tekanan ke bola mata tidak mendapat tekanan yang cukup untuk memulihkan posisi saraf mata kita.

Jadi sholat malam itu lebih baik daripada tidur. Kebanyakan tidur malah

menjadi penyakit. Bukan lamanya masa tidur yang diperlukan oleh tubuh

kita melainkan kualitas tidur. Dengan sholat malam, kita akan

mengendalikan urat tidur kita.

Sholat Lebih Canggih dari Yoga “Apakah pendapatmu sekiranya terdapat sebuah sungai di hadapan pintu rumah salah seorang diantara kamu dan dia mandi di dalamnya setiap hari lima kali. Apakah masih terdapat kotoran pada badannya?”. Para sahabatmenjawab : “Sudah pasti tidak terdapat sedikit pun kotoran pada badannya”. Lalu beliau bersabda : “Begitulah perumpamaansholat lima waktu. Allah menghapus segala keselahan mereka”. (H.R Abu Hurairah r.a).

Jika manfaat gerakan sholat kita betul, maka sangat luar biasa manfaatnya dan lebih canggih daripada yoga. Sangat disayangkan tidak ada universitas yang berani atau sengaja mengembangkan teknik gerakan sholat ini secara ilmiah. Belum lagi manajemen yang terkandung dalam bacaan sholat. Seperti doa iftitah yang berarti mission statement (dalam manajemen strategi).

Sedangkan makna bacaan Alfatihah yang kita baca berulang sampai 17 kali

adalah objective statement. Tujuan hidup mana yang lebih canggih

dibandingkan tujuah hidup di jalan yang lurus, yaitu jalan yang penuh

kebaikan seperti diperoleh para orang-orang shaleh seperti nabi dan

rasul?

Dr. Gustafe le Bond mengatakan bahwa Islam merupakan agama yang paling sepadan dengan penemuan-penemuan ilmiah.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan etika sains harus didukung dengan

kekuatan iman. Semoga sholat kita makin terasa manfaatnya.

Sumber : http://moslemsunnah.wordpress.com

Agustus 8, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

15 Resep Pengobatan dengan Madu

15 Resep Pengobatan dengan Madu

Di bawah ini adalah 15 resep pengobatan menggunakan madu. Apa saja jenis manfaat madu pada 15 pengobatan ini? Di antaranya adalah: Maag, Sesak Nafas, Tekanan Darah Tinggi, Luka Bakar, Sembelit, ,Tonikum, Mengatasi Sakit Pinggang, Menguatkan Otot Jantung,Untuk Kekuatan Seksual, Menghilangkan Akibat Buruk Gairah Seks Yang Berlebihan, Makanan Yang Baik Bagi Bayi, Menanggulangi Mual-Mual Pada Wanita Hamil, Gangguan Empedu, Radang Lambung, Kencing Tidak Lancar Dan Tubuh Letih Serta Lesu, Toner Kulit (Mengencangkan, Melembutkan, Dan Melembabkan Kulit), Pembersih Wajah Setiap Hari, Conditioner Rambut (Kesehatan Rambut Dan Kulit Kepala)

1. MAAG

Pagi bangun tidur campurkan dua sendok makan madu dengan 3/4 air hangat, aduk dan minum. Beberapa saat sebelum tidur, minumlah kembali madu dan air hangat.

2. SESAK NAFAS

Sejumput jinten hitam (habbautussauda) ditumbuk halus, seduh dengan air panas tiga perempat gelas, setelah hangat disaring, campurkan dua sendok makan madu, minum dua kali sehari.

3. TEKANAN DARAH TINGGI

Satu buah Mengkudu bersihkan kulit dan bijinya, daging buah ditambah segelas sdm (sendok makan) madu, separuh jeruk nipis dibuat jus, bagi dua untuk pagi dan malam. Resep ini juga bermanfaat bagi penyakit jantung, diabetes, kelelahan, gangguan pencernaan, dan mencegah pikun.

4. LUKA BAKAR

Madu dicampur dengan vaseline dalam takaran yang sama, oleskan pada luka bakar tersebut, setiap pagi dan sore, sampai kulit yang terbakar mengelupas, insyallah kulit anda seolah-olah tidak pernah terbakar sama sekali

5. SEMBELIT

Minum segelas susu dingin yang dicampur dengan sesendok madu setiap pagi dan sore, ini akan melunakkan kotoran dan membersihkan usus dengan sebersih-bersihnya.

6. TONIKUM

Merangsang ingatan, nafsu makan, dan menambah berat tubuh. Ambil daging mangga yang masak, lembutkan seperti di jus dan ditambahkan air hingga 3/4 gelas ditambah 1,5 sdm madu dan susu secukupnya. Usahakan minum dua kali sehari.

7. MENGATASI SAKIT PINGGANG

30 gram daun Kucai dan 25 gr jahe diiris-iris kemudian di jus. Tambahkan 60 cc madu lalu diminum. Konsumsilah 2 x sehari.

8. MENGUATKAN OTOT JANTUNG

1 Sdm madu dilarutkan dalam sedikit air kemudian dicampur dengan kulit delima yang direbus dengan api kecil dan tidak sampai mendidih.

9. UNTUK KEKUATAN SEKSUAL

Tiga siung bawang merah ditumbuk dan diperas dengan baik, kemudian ambil sarinya. Campurkan madu dengan takaran yang seimbang, lalu panaskan dengan api sedang sambil diaduk hingga hilang busa madunya. Minumlah ramuan ini 1 SDM sesudah makan siang setiap hari, dan bila ditambah dengan habbatussauda maka akan lebih menguatkan. Ramuan lainnya adalah 2 SDM madu + kuning telur ayam kampung + ½ sendok teh bubuk merica, tambahkan sedikit air hangat lalu aduk semuanya. Minumlah setidaknya dua kali dalam sepekan.

10. MENGHILANGKAN AKIBAT BURUK GAIRAH SEKS YANG BERLEBIHAN

Minumlah air kelapa segar ditambahkan dengan sedikit madu, cara ini dapat menghilangkan permasalahan di atas.

11. MAKANAN YANG BAIK BAGI BAYI

Pisang ambon yang dicampur dengan madu dan susu merupakan makanan terbaik bagi bayi.

12. MENANGGULANGI MUAL-MUAL PADA WANITA HAMIL, GANGGUAN EMPEDU, RADANG LAMBUNG, KENCING TIDAK LANCAR DAN TUBUH LETIH SERTA LESU

1 Gelas penuh sari wortel dicampur dengan 1 SDM madu 1 sendok teh sari jeruk nipis, dikonsumsi sebelum sarapan pagi

13. TONER KULIT (MENGENCANGKAN, MELEMBUTKAN, DAN MELEMBABKAN KULIT)

1 buah kulit jeruk ditambah 1 sdm madu kemudian diblender dengan halus. Gosokkan perlahan campuran tersebut ke wajah dan biarkan hingga 15 menit, lalu basuhlah wajah anda dengan air hangat untuk membersihkan ramuan tersebut.

14. PEMBERSIH WAJAH SETIAP HARI

Campurkan 1 sdm madu dengan sedikit susu bubuk di telapak tangan. Oleskan di wajah untuk membersihkan semua kotoran dan make-up. Lalu basuh hingga bersih dengan air hangat.

15. CONDITIONER RAMBUT (Kesehatan rambut dan kulit kepala)

Campur ½ cangkir madu dan 1 sdm minyak zaitun. Oleskan ke rambut dan kulit kepala, lalu ambil penutup dan biarkan hingga 30 menit dalam keadaan tertutup. Setelah 30 menit, keramasi dengan shampoo dan bilas rambut anda seperti biasa.

Silahkan mencoba.. Semoga anda selalu sehat dan senantiasa dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala

sumber: masbadar.wordpress.com

Diambil dari http://moslemsunnah.wordpress.com

Agustus 8, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Penentuan Awal Ramadhan, Ru’yah atau Hisab?

Penentuan Awal Ramadhan, Ru’yah atau Hisab?

Tak  sedikit  orang yang menggunakan ilmu hisab untuk menentukan  awal   bulan  Ramadhan  (Hijriyah).  Pada  masa  Rasulullah صل اللة عليه وسل , ilmu hisab sudah ada dan digunakan oleh orang-orang Romawi, Persia dan Arab.

Tapi mengapa Rasulullah صل اللة عليه وسلم tidak menggunakan ilmu hisab untuk menentukan awal bulan dan lebih memilih dengan cara melihat hilal?

KELEMAHAN-KELEMAHAN ILMU HISAB DALAM MENENTUKAN AWAL RAMADHAN DAN SYAWAL

1. Menyelisihi Al Qur’an Al Karim

Allah سبحانه وتعلى telah menetapkan bahwa hilal (bulan sabit)  adalah petunjuk untuk menentukan awal bulan Hijriyah. Allah سبحانه وتعلى berfirman,

“Mereka bertanya tentang hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah haji).” (QS. Al Baqarah: 189).

Dan firman Allah سبحانه وتعلى dalam ayat yang lain;

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barang siapa di antara kalian yang menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al Baqarah: 185).

Kata شَهِدَ dalam ayat ini, dalam bahasa Arab berarti menyaksikan dengan mata kepala, dan ini ditafsirkan oleh hadits Rasulullah صل اللة عليه وسلم

صُوْمُوْا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُأْيَتِهِ

“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah (berlebaranlah) karena melihatnya.” (HR. Bukhari).

Dan yang lebih berhak untuk menafsirkan Al Qur’an setelah Allah سبحانه وتعلى adalah Rasulullah صل اللة عليه وسلم

2. Menyelisihi Sunnah Rasulullah صل اللة عليه وسلم

Rasulullah صل اللة عليه وسلم telah bersabda, artinya,

“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Dan jika kalian melihatnya, maka berlebaranlah. Tetapi jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian pula sabda beliau yang lain,

لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ

“Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya, dan janganlah kalian berlebaran sampai kalian melihatnya.” (HR. Muslim).

Dalam hadits lain, Nabi صل اللة عليه وسلم bersabda,”Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung, bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam jari pada ketiga kalinya) dan bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alihi).

Sifat ummi (tidak menulis dan tidak menghitung) yang disandangkan oleh Rasulullah صل اللة عليه وسلم kepada umat ini, akan tetap berlaku sampai saat ini, jika sifat ummi tersebut dinisbatkan kepada ilmu hisab.

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah (berlebaranlah) karena melihatnya. Maka jika tersembunyi atas kalian, maka hendaklah kalian menyempurnakan Sya’ban menjadi tiga puluh hari” (HR. Bukhari).     Kata رُؤْيَةٌ dalam hadits-hadits di atas, tidak bisa diartikan kecuali dengan     مُشَاهَدَةٌ بِالْعَيْنِ (melihat dengan mata kepala), karena hanya mengandung satu obyek, yaitu hilal.

Di dalam memahami dalil-dalil, baik dari al Qur’an maupun as-Sunnah, harus dikembalikan kepada pemahaman orang-orang Arab dalam memahami makna dari kalimat tersebut. Dan berkaitan dengan dalil-dalil tentang ru’yah dalam menetapkan awal Ramadhan maupun Syawal, maka para sahabat رضي الله عنهما sama sekali tidak pernah merujuk kepada pendapat ahli hisab, walaupun sekali!

3. Menyelisihi Ijma’ (Kesepakatan)

Para ulama bahkan kaum Muslimin telah bersepakat, bahwa masuk dan keluarnya bulan ditandai dengan muncul-nya hilal yang diketahui dengan cara ru’yah. Ijma’ sejak zaman Rasulullah صل اللة عليه وسلم hingga zaman ini. Maka orang-orang yang menggunakan ilmu hisab berarti telah menyelisihi ijma’. Allah سبحانه وتعلى berfirman, artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115).

4. Tasyabbuh terhadap Ismailiyah

Tidak dikenal dalam sejarah orang yang menyelisihi penetapan awal bulan dengan cara ru’yah kecuali Ismailiyyah (salah satu sekte yang paling ekstrem dari golongan Syi’ah). Sehingga termasuk salah satu bentuk tasyabbuh (menyerupai) terhadap orang-orang Ismailiyah adalah dengan menggunakan hisab dalam penentuan awal bulan Hijriyah.

5. Hisab Dibangun di atas Ilmu Zhonni

Imam Al Ghazali—rahimahullah—mengklasifikasikan ilmu ke dalam empat bagian, yaitu:

a. Ilmu tauqifiy,  yaitu yang berasal dari Al Qur’an dan hadits Rasulullah صل اللة عليه وسلم

b. Ilmu qath’iy (ilmu pasti), contohnya adalah matematika, seperti 1+1=2, hasilnya tidak akan pernah berubah.

c. Ilmu tajribiy (ilmu yang diperoleh dari hasil riset).

d. Ilmu zhonniy (praduga), dan salah satu contohnya adalah ilmu falak.

Peneliti dari ilmu hisab, semuanya sepakat tentang mustahilnya menentukan ru’yah secara tepat untuk kemudian dihukumi bahwa hilal pasti dilihat atau tidak dapat dilihat sama sekali dengan ketentuan yang sifatnya menyeluruh, meski mungkin bisa terjadi secara kebetulan.

Sehingga tidak mengherankan apabila terjadi perbedaan antara hasil hisab suatu lembaga/organisasi dengan hasil hisab organisasi lainnya, karena memang hisab dibangun di atas  zhon (praduga). Dan tidak mungkin Allah سبحانه وتعلى menetapkan suatu ibadah yang agung di atas pijakan ilmu zhon.

6. Mempersulit Umat

Penetapan awal bulan dengan ru’yah merupakan realisasi dari maqashid asy-syari’ah, yang mana salah satunya adalah untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi umat. Orang yang mengetahui ilmu hisab sangat langka, sehingga menjadikan hisab sebagai sarana untuk mengetahui masuknya awal bulan merupakan hal yang membebani umat. Berbeda dengan menentukan awal bulan dengan ru’yah, selama masih memiliki mata yang normal, maka cukup dengan melihat hilal, dan apabila hilal tidak terlihat, maka dengan menggenapkan bulan tersebut 30 hari.

Inilah tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti dan membawa banyak maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad صل اللة عليه وسلم Nabi صل اللة عليه وسلم menetapkan bahwa untuk menetukan awal bulan Hijriyah adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal), ketika ilmu hisab dan falak telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia bahkan Arab. Namun Nabi صل اللة عليه وسلم tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau sepenuhnya menerima ketentuan Allah سبحانه وتعلى bahwa untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal).

Yang sangat disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi صل اللة عليه وسلم ini tersisihkan dan diganti kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan oleh pihak-pihak yang menganggap diri mereka sebagai ulama dan tokoh umat.

7. Memecah Belah Umat

Allah سبحانه وتعلى berfirman, artinya:

“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfal: 46).

Perbedaan pendapatlah yang menyebabkan perpecahan dan keporak-porandaan, sehingga kita semakin jauh dari petunjuk Nabi صل اللة عليه وسلم

Allah سبحانه وتعلى berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah diennya dan mereka menjadi bergolong-golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka.” (QS. Al An’am: 159).

Mereka yang bergolong-golongan dan memecah belah persatuan serta kesatuan kaum Muslimin, akan terlepas hubungannya dengan Nabi صل اللة عليه وسلم. Nabi صل اللة عليه وسلم pun sama sekali tidak bertanggung jawab atas tingkah laku mereka. Mereka itu terdiri dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang sengaja membuat kekejian di atas kedengkian, dan mereka juga tidak mau menerima Islam. Allah سبحانه وتعلى berfirman,

“Sesungguhnya dien (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al Kitab kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.” (QS. Ali Imran: 19).

Oleh karena itu, patutkah kita mewarisi “penyakit ahli kitab” yang menggantikan warisan dari al Kitab? Patutkah pula kita mewarisi kekejian dan kedengkiannya? Sebenarnya, perselisihan dan kebencian serta pemecahbelahan agama adalah termasuk penyakit warisan para ahli kitab. Inilah yang menyebabkan kehancuran mereka. Kisah-kisahnya telah diabadikan dalam al Qur’an untuk menjadi pelajaran yang gamblang bagi umat-umat setelahnya.

SYUBHAT

Sebagian orang memahami sabda Nabi صل اللة عليه وسلم

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلَّا أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُمْ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Bulan adalah 29 (hari), maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berlebaran hingga kalian melihatnya, kecuali jika kalian terhalangi awan. Maka jika tertutupi awan, maka tentukanlah.” (HR. Muslim).

Pendukung hisab mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi صل اللة عليه وسلم

فَاقْدِرُوْا لَهُ adalah “tentukanlah dengan ilmu hisab.”

TANGGAPAN

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menanggapi syubhat mereka dengan perkataan beliau, “Pendalilan mereka dengan hadits Ibnu Umar ini sangat rusak, karena Ibnu Umar sendiri yang meriwayatkan hadits: “Kita adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung.” Bagaimana mungkin kemudian hadits beliau ini dipahami dengan makna wajibnya mengamalkan ilmu hisab?” (Majmu’ Fatawa, 25/182).

Makna yang benar dari hadits ini adalah ‘tentukanlah jumlah bulan dengan menyempurnakan jumlah Sya’ban menjadi 30 hari’. Dan akan lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata فَاقْدِرُوْا لَهُ yaitu hadits yang terdapat dalam riwayat Muslim, dari Nabi صل اللة عليه وسلم dengan lafazh,

فَاقْدِرُوْا ثَلاَثِيْنَ

“Maka tentukanlah menjadi 30.”

Yang lebih jelas lagi adalah riwayat dari Abu Hurairah, dari Nabi صل اللة عليه وسلم

فَأكْمِلُوْا الْعِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْن َ

“Maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30.” (HR. Bukhari).

Inilah makna yang benar, dan keliru besar jika menganggap maknanya adalah ‘perkirakanlah dengan ilmu hisab atau falak’. Wallahu A’lam (Al Fikrah)

Abu Khalid Jahada Mangka, Lc.

www.wahdah.or.id

Juli 20, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Tanda-Tanda Kedewasaan

Tanda-Tanda Kedewasaan

Tanda-tanda seseorang menjadi dewasa telah banyak diketahui setiap orang. Bagi laki-laki biasanya ditandai dengan “mimpi basah”, dan beberapa ciri lain yang menyertai. Sedangkan pada wanita, kedewasaan itu ditandai dengan keluarnya darah haid.

Namun fenomena yang terjadi di mayarakat saat sekarang ini, usia  “tujuh belas tahun” dianggap sebagai tanda kedewasaan seseorang. Maka terkadang timbul pertanyaan, haruskah 17 tahun tanda kedewasaan itu? Dan  bagaimana syariat Islam menyikapi usia 17 tahun tersebut?

Dewasa dengan Ibadah

Bertambahnya usia menjadi dewasa bukannya sepi dari tantangan atau lepas dari tanggung jawab, bahkan dengan bertambahnya usia menjadi dewasa, maka tantangan dan tanggung jawab makin berat. Bagi kaum muslimin, bertambahnya usia menjadi dewasa merupakan kewajiban bagi setiap seseorang  untuk taat beribadah dan menjalankan syariat Islam ini secara sempurna, sebagaimana firman Allah Allah Subhaanahu wa Ta’ala (artinya),

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzariyat:56).

Akan tetapai sangat disayangkan, fenomena yang terjadi di masyarakat dan khususnya kaum Muslimin sangat jauh dari ayat di atas. Bahkan sebagian di antara kaum Muslimin dengan bertambahnya usia menjadi 17 tahun, ada yang beranggapan dengan usia tersebut seseorang tidak mengapa  pacaran, menonton film-film tujuh belas tahun ke atas. Dan parahnya lagi, anggapan bahwa pada usia tujuh belas  tahun tersebut, seseorang  boleh  melakukan adegan percintaan. Begitulah anggapan masyarakat dan kaum Muslimin saat sekarang ini. Na’adzu billahi min dzalik, kita memohon kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala agar dilindungi dari hal-hal yang seperti “itu”.

Ada empat hal yang melatarbelakangi sehingga anggapan itu terjadi;

1. Cinta dunia.

Banyak di antara pemuda kita yang lebih mengutamakan hawa nafsunya dan lebih mengedepankan kenikmatan dunia dibanding kenikmatan beribadah. Hawa nafsu dan dunia lebih dicintai dibandingkan melaksanakan ketaatan pada-Nya. Begitulah, akhirnya mereka pun lebih cenderung untuk melakukan kemaksiatan.

2. Kurangnya pemahaman yang benar terhadap agama Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan keengganan menuntut ilmu syar’i.

Akibatnya bisa ditebak, bahwa pemuda Islam beranggapan usia tujuh belas tahun adalah usia hura-hura. Akhirnya mereka tak menyadari sudah jatuh ke dalam lubang dosa karena kejahilannya terhadap agama Allah U dan lalai terhadap hukum dan siksa Allah yang bisa datang kapan saja.

3. Lalai dengan tujuan penciptaannya, sebagaimana yang kami telah sebutkan di awal pembahasan.

Banyaknya orang yang sekadar hidup makan, minum, menyalurkan syahwat belaka, dan tidak perduli dengan tujuan kehidupannya, atau bahkan tak tahu tujuan hidupnya. Laa haula wa laa quwwata illah billah.

4. Tidak berpikir untuk bekal di akhirat yang perjalanannya sangat panjang untuk ditempuh dan sifatnya kekal (selama-lamanya).

Ini akibat anggapan mereka yang mengatakan bahwa usia tujuh belas tahun itu hanya untuk hura-hura saja, yang akhirnya mereka pun melupakan kematian yang dapat menghancurkan kenikmatan yang ada di dunia ini dan  angan-angan seseorang, yang mana  kematian tersebut bukan hanya datang pada usia ketika seseorang sudah tua, akan tetapi sebaliknya, begitu banyak pemuda yang telah mendahului orang-orang yang lebih tua.

Syariat Segala Umur

Sebenarnya Islam telah mengaturnya, dan hebatnya lagi Islam lebih unggul dari pemikiran  tersebut. Jika sebagian orang menganggap bahwa usia tujuh belas tahun seseorang telah dianggap sebagai dewasa, maka Islam menganggap usia sebelum itu sudah merupakan kedewasaan. Buktinya, ketika seseorang berada pada usia 14 tahun, lalu orang tersebut telah mendapatkan atau mengalami tanda-tanda kedewasaan yang sebagaimana telah kita sebutkan yaitu bagi laki-laki biasanya ditandai dengan mimpi basah, dan perempuan biasanya ditandai dengan keluarnya darah kotor (haid). Maka ketika itu Islam menganggap seseorang telah dewasa dan siap menjalankan syariat dengan penuh tanggung jawab. Sebagimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,yang artinya:

“Diangkat pena (tidak dikenai kewajiban menjalankan syariat) dari tiga golongan:  Orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia besar (bâligh), dan orang gila hingga ia berakal atau sadar.” (HR. Nasai).

Maka kita dapat pahami bahwa Islam tidak menetapkan standarisasi usia kedewasaan seseorang, namun ketika seseorang telah baligh maka Islam telah menganggap orang tersebut telah dewasa dan tidak perlu menunggu sampai usia tujuh belas tahun. Apabila seseorang telah sampai pada balighnya maka ia adalah orang yang wajib melaksanakan syariat ini, seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain.

Bahkan pada usia tersebut, secara syariat sudah bisa malaksanakan pernikahan sehingga tidak mesti melakukan perbuatan maksiat seperti pacaran yang banyak dilakukan muda mudi pada usia tersebut. Begitu juga usia tujuh belas tahun tidak ada kekhususan atau keistimewaan menurut Islam. Akan tetapi Islam sekali lagi telah mengajarkan  kepada kita bahwa pada usia berapa pun  seseorang tetaplah terikat pada syariat selama ia telah baligh, masih berakal sehingga mampu membedakan benar dan salah. Sampai-sampai Islam mengajarkan juga hal yang dianggap kecil atau sepeleh bagi orang-orang yang mengaku dirinya sudah “dewasa”, yaitu bercampur baur (berkumpul bersama-sama lawan jenis), melihat aurat lawan jenis, menonton film-film yang berlabel 17 tahun ke atas, atau bahkan adegan percintaan.Maka kita dapat memahami bahwa Islam tidak mengharuskan seseorang berumur tujuh belas tahun agar dapat dikatakan dewasa atau sudah baligh.

Saatnya Berubah dan Bertaubat

Usia tujuh belas tahun menurut sebagian orang adalah masa-masa indah, hura-hura dan tentunya semua kesenangan yang menggiurkan. Namun tidak begitu halnya dengan seorang Muslim atau Muslimah yang bertanggung jawab. Usia tujuh belas tahun itulah yang merupakan titik atau awal mula bagi kaum Muslim maupun Muslimah untuk membenahi diri, mengenali potensi diri dan mengembangkannya di jalan yang positif (selaras dengan koridor syar’i). Inilah ciri pribadi Muslim atau Muslimah yang bertanggung jawab. Beginilah semestinya kaum Muslim atau Muslimah yang telah dewasa. Bukan masanya lagi bagi kita yang telah menjadi dan dianggap dewasa untuk bersenang-senang sehingga lupa tujuan hidup. Dan usahakanlah untuk menjadikan hari esok itu lebih baik dari hari-hari sebelumnnya, dan segeralah bertaubat kepada Allah U karena sesungguhnya Allah U Mahaluas ampunan-Nya lagi Mahapenyayang. Sebagaimana firman-Nya (artinya):

“Katakanlah, hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Az-Zumar: 53).Wallahu A’lam

Abdul Rasyid Yusuf el-Makassari,

(Sumber: Majalah el Fata, edisi 4 Vol. 07 th 2007)

Juli 20, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Indahnya Belum Terbayangkan

Indahnya Belum Terbayangkan

Cita-cita tertinggi seorang Muslim adalah surga. Memasukinya dan hidup di dalamnya adalah sebuah angan-angan yang menghantui sepanjang usia berjalan.

TAMASYA KE SURGA

Ayat-ayat tentang Surga:

Allah سبحانه وتعلى.telah menggambarkan keadaan surga dalam banyak ayat Al Qur’an, di antaranya adalah firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir). (Dikatakan kepada mereka), “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman.” Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya.”  (QS. Al Hijr: 45-48).

“Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata, seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk, dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan. Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka mendengar ucapan salam. Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon bidara yang tak berduri, dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya), dan naungan yang terbentang luas, dan air yang tercurah, dan buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya, dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk. Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan, (yaitu) segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan besar pula dari orang-orang yang kemudian.” (QS. Al Wâqi’ah: 10-40).

Semua nikmat yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namanya sama dengan yang dilihat di dunia. Tetapi, ketika disebut benda-benda ini, hanya sebagai penamaan agar dipahami penduduk dunia. Adapun yang sebenarnya dan hakekat kesenangan-kesenangan, diserahkan kepada Allah Yang Maha Agung dan Maha Bijaksana.

Sifat-sifat Surga dalam Sunnah Shahihah

Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah menerangkan tentang sifat-sifat surga yang dijanjikan Allah سبحانه وتعلى. kepada orang-orang bertakwa dengan keterangan yang dalam, detail dan gamblang:

1. Pintu-pintu surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

فِيْ الْجَنَّةِ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابٍ فِيْهَا بَابٌ يُسَمَّ الرَّيَّانَ لاَ يَدْخُلُهُ إِلاَّ الصَّائِمُوْنَ

“Di dalam surga ada delapan pintu, di antaranya ada yang bernama Ar-Rayyân, tidak akan dimasuki kecuali oleh orang-orang yang (rajin) berpuasa.” (HR. Bukhâri).

2. Tidak ada kematian dalam surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, artinya:

“Jika penduduk surga telah memasuki surga, maka ada yang berseru, “Sesungguhnya kalian akan tetap hidup dan tidak akan mati. Kalian akan tetap sehat dan tidak akan sakit. Kalian akan tetap muda dan tidak akan tua. Dan kalian akan tetap mendapat nikmat dan tidak akan mendapat kesusahan.” (HR. Muslim).

3. Sifat-sifat penduduk surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, ”Akan masuk surga sekelompok orang dalam keadaan memiliki rambut yang sedikit, seakan-akan mata mereka bercelak, yaitu berumur 33 tahun atau 30 tahun.” (Shahîhul Jâmi’: 7928).

“Akan masuk surga beberapa kaum yang hati mereka seperti burung (yaitu dari sisi kelembutan, ketakutan, dan kehormatan). (Shahîhul Jâmi’: 7924).

“Kaum Mukminin di surga akan diberi demikian dan demikian dalam urusan jimak (bersetubuh). Ada sahabat yang bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah dia mampu untuk itu?” Nabi  berkata, “Dia akan diberi seratus kekuatan.” (Shahîhul Jâmi’: 7962).

4. Wanita-wanita penghuni surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Kalaulah seorang wanita penduduk surga menampakkan dirinya kepada penduduk dunia, niscaya dia akan menerangi antara keduanya dan bumi akan penuh dengan wewangian. Dan sungguh penutup kepalanya lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Bukhâri).

5. Makanan dan minuman penduduk surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, artinya:

“Para penduduk surga akan makan dan minum di dalamnya. Mereka tidak buang air besar, tidak beringus, tidak buang air kecil. Akan tetapi mereka hanya makan. Suara kenyang yang keluar dari mulut mereka seperti bau misk. Mereka diberikan tasbih seperti hembusan nafas (itu menjadi pembawaan mereka).” (HR. Muslim).

“Sesungguhnya di surga ada lautan air, lautan madu, lautan susu, lautan khamr, kemudian berubah menjadi sungai.” (Shahîhul Jami’: 2118).

6. Kamar-kamar di surga

“Di surga ada beberapa kamar yang luarnya bisa dilihat dari dalam dan yang isinya bisa dilihat dari luar. Itu disediakan Allah bagi orang yang memberikan makanan, melembutkan ucapan, selalu berpuasa dan shalat di waktu malam ketika manusia sedang terlelap tidur.” (Shahîhul Jami’: 2119).

7. Kemah-kemah, taman-taman dan debu-debu surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Bagi kaum mukminin di surga ada kemah dari permata yang terjalin. Panjangnya enam puluh mil. Dan kaum mukminin di dalamnya akan mendapatkan keluarga yang selalu digilirnya dan masing-masing tidak melihat yang lainnya.” (Muttafaqun ‘alaih).

Dalam sebuah hadits tentang Mi’raj dari Anas bin Malik رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم, beliau bersabda, “….Kemudian aku berjalan bersama Jibril hingga sampai ke Sidratul Muntaha. Ternyata dia dilingkupi oleh warna-warni yang aku tidak tahu apa itu. Beliau berkata, “Kemudian aku dimasukkan ke surga yang berisi kemah-kemah dan kubah-kubah dari permata, ternyata debunya dari misk.” (Muttafaqun ‘alaih).

8. Pohon-pohon surga

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Di surga ada sebuah pohon yang bila seseorang berjalan dengan kendaraan yang paling bagus dan mampu berjalan dengan lama seratus tahun, niscaya tidak akan selesai melewatinya.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga telah bersabda,

مَا فِيْ الْجَنَّةِ شَجَرَةٌ إِلاَّ وَسَاقُهَا مِنْ ذَهَبٍ

“Tidak ada sebuah pohon pun di surga melainkan batangnya dari emas.”       (Shahîhul Jami’: 5523).

9. Pasar di surga

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Di surga ada sebuah pasar yang diramaikan hanya hari Jumat, maka ketika itu angin berhembus dari utara, kemudian menerpa wajah-wajah mereka hingga menjadi semakin indah. Maka mereka kembali kepada keluarga-keluarga mereka dalam keadaan mereka juga semakin indah. Maka keluarga-keluarga mereka berkata kepada mereka, “Demi Allah, kalian semakin indah setelah kami tinggalkan.” Mereka juga berkata, “Kalian pun semakin indah.” (HR. Muslim).

10. Sungai-sungai di surga

Dari Anas رضي الله عنه, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Aku masuk ke dalam surga, ternyata di sana ada sebuah sungai yang dipinggirnya ada kemah-kemah dan permata. Maka aku memukulkan tanganku ke air yang mengalir itu. Ternyata airnya adalah misk yang sangat harum. Maka aku bertanya, “Apa ini wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Ini adalah Al Kautsar yang diberikan Allah kepadamu.” (Shahîhul Jami’: 3260).

11. Kenikmatan penghuni surga yang paling agung

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Bila penduduk surga telah masuk ke surga dan penduduk neraka masuk ke neraka, maka ada yang berseru, “Wahai penduduk surga! Sesungguhnya kalian memiliki janji di sisi Allah yang ingin Dia tunaikan kepada kalian.” Maka mereka bertanya, “Apakah itu? Bukankah Dia telah memberatkan amal kebaikan kami, memutihkan wajah-wajah kami, memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” Maka disingkaplah tirai, mereka pun melihat kepada Allah. Demi Allah, Allah tidak pernah memberikan sesuatu yang paling mereka cintai dan paling menyejukkan pandangan mereka daripada melihat wajah-Nya.” (Shahîhul Jami’: 535).

SIAPA PENGHUNI SURGA?

Para penghuni surga adalah orang-orang yang merasa takut kepada Allah. Rasa takut yang mendorong kepada kebaikan dan mencegah dari setiap penyimpangan. Rasa takut inilah yang membuat segala ibadah dan amal yang diperintakan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadi ikhlas, bersih dari noda riya dan syirik.(Al Fikrah)

www.wahdah.or.id

Juli 20, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Panah Yang Tak Pernah Meleset

Panah Yang Tak Pernah Meleset

(Al Fikrah No.17 Thn VIII/6 Dzulqa’dah 1428 H)

Tanyakan kepada semua orang, adakah manusia yang tidak memiliki persoalan hidup? Siapa di antara kita yang sepanjang hidupnya diliputi kesenangan? Siapa pula di antara kita yang tidak memiliki obsesi yang tak kunjung terealisasi? Adakah di antara kita yang merasa tenang karena yakin bahwa dosa-dosanya tidak akan menyeretnya ke dalam neraka?

Mereka tentu akan menjawab, “Tidak ada!”

Kita semua memiliki beragam persoalan. Kita pun sering diliputi kesedihan dan duka. Cita-cita dan harapan yang masih tertunda. Bayangan-bayangan dosa pun senantiasa menghantui.

Lalu kemana hendak mengadu?

MENGAPA RAGU BERDOA

Seorang lelaki datang kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita itu jauh sehingga kita menyeru-Nya, ataukah Dia dekat, sehingga kita cukup berbisik kepada-Nya?” Maka turunlah firman Allah سبحانه وتعلى

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, …..” (QS. Al Baqarah: 186).

Pertanyaan yang ditanyakan oleh lelaki tersebut adalah pertanyaan yang begitu mudah. Tapi Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak menjawabnya. Apakah Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak mengetahui jawabannya? Tentu saja Rasulullah صلى الله عليه وسلم

Marilah kita cermati kembali firman Allah di atas, “Apabila ia memohon kepada-Ku”. Ayat ini mengandung konsekuensi berdoa terlebih dahulu sebelum berharap pengabulannya. Ya, Allah سبحانه وتعلى akan mengabulkan permintaan Anda, tapi dengan syarat, Anda mesti berdoa terlebih dahulu.

Perhatikanlah pertanyaan-pertanyaan Allah سبحانه وتعلى dalam ayat-ayat berikut ini, dan perhatikan pula jawabannya. Allah سبحانه وتعلى berfirman,

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189).

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar.” (QS. Al Baqarah: 217).

“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul.” (QS. Al Anfâl: 1).

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. ” (QS. Al Baqarah: 219).

Setiap pertanyaan dalam ayat-ayat di atas jawabannya selalu didahului dengan kata “qul” (katakanlah). Berbeda dengan ayat berikut ini,

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS. Al Baqarah: 186).

Dalam ayat ini, Allah سبحانه وتعلى yang langsung menjawabnya tanpa menggunakan kata “qul” (katakanlah), sebab hubungan yang ada adalah hubungan langsung, kontak terbuka antara kita dengan Allah سبحانه وتعلى, kapan dan di mana saja, tanpa ada perantara antara kita dengan-Nya.

Apalagi yang menghalangi tangan kita untuk tengadah berdoa kepada-Nya? Bukankah Allah سبحانه وتعلى, Yang Mahakaya lagi Mahakuasa atas segala sesuatu telah berkata kepada kita, “Mintalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan permohonanmu”?

Allah yang Mahakaya, Pemilik segala sesuatu, menyuruh Anda untuk meminta kepada-Nya. Tapi mengapa ketika kita ditimpa musibah, atau didera cobaan dan kesulitan, kita lebih memilih untuk meminta dan mengadu kepada sesama makhluk? Masuk akalkah seorang yang sedang tenggelam, memohon pertolongan dari orang yang juga tenggelam? Masuk akalkah, seseorang yang sedang membutuhkan, meminta pertolongan kepada orang yang juga membutuhkan?

Allah سبحانه وتعلى berfirman, “Hai manusia, kamulah yang berhajat kepada Allah; dan Allah Dialah yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Mahaterpuji.” (QS. Fâthir: 15).

Alangkah dalam pengertian ayat ini! Setiap kita membutuhkan Allah! Orang kaya di antara kita adalah fakir. Penguasa kita adalah fakir. Rakyat jelata kita pun fakir. Setiap kita adalah hamba-hamba Allah yang fakir! DAn Allahlah yang Mahakaya, Al Ghaniy Al Hamîd. Kata-kata Al Ghaniy ini disebutkan dalam bentuk ma’rifah, agar kita tahu bahwa kekayaan ini adalah kekayaan (ketidakbutuhan) yang sifatnya mutlak dan absolut.

Anda bertanya, “Siapakah sebenarnya Sang Pemberi yang begitu Dermawan itu?” Dialah Allah! Salah satu nama-Nya adalah “Al Karîm”, yang berarti Zat Yang Mahamemberi tanpa diminta. Subhânallah! Maka apalagi jika diminta!

KEUTAMAAN DOA

Pernahkah Anda memperhatikan susunan surah-surah dalam Al Qur’an? Ternyata Kitabullah dimulai dengan doa, surah Al Fatihah. Bukankah surah ini berisi doa agar kita ditunjuki jalan yang lurus? Lalu surah An-Nâs, surah penutup dalam Al Qur’an. Surah ini pun berisi doa perlindungan dari kejahatan bisikan setan, jin maupun manusia.

Maka Al Qur’an dibuka dengan doa lalu ditutup dengan doa pula, menunjukkan keutamaan yang agung dari doa ini.

1. Yang Paling Mulia di Sisi Allah

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنْ الدُّعَاءِ

“Tidak ada yang lebih mulia di sisi Allah melebihi doa.” (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah ).

2. Karenanya Allah Cinta

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

مَنْ لَمْ يَدْعُ اللهَ سُبْحَانَهُ غَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ

“Siapa yang tidak berdoa kepada Allah I, maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. HR. Ahmad dan selainnya, dinyatakan hasan oleh Al Albânî).

Dari hadits ini, kita bisa pahami bahwa doa adalah ibadah yang dicintai oleh Allah. Demikian pula orang yang berdoa dicintai oleh Allah. Mengapa demikian? Karena Allah I murka kepada hamba-Nya yang tidak mau berdoa.

Nah, sekarang Anda dihadapkan pada dua pilihan, Anda tetap enggan dan malas berdoa lalu Allah murka kepada Anda, atau Anda berdoa dan Allah pun cinta kepada Anda? Jiwa-jiwa yang sehat tentu akan memilih pilihan kedua, seperti halnya Anda. Bukan begitu?

3. Ibadah yang Paling Utama

Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata, “Ibadah yang paling afdhal adalah doa.” (HR. Hâkim, juga diriwayatkan secara marfu’ dan dinyatakan hasan oleh Al Albânî).

BENTUK-BENTUK PENGABULAN DOA

Sekian banyak kenikmatan yang telah Allah karuniakan kepada Anda merupakan jawaban atas doa-doa Anda kepada-Nya. Anda bertanya, “Bagaimana bisa seperti itu?”

Ternyata, doa yang kita panjatkan tidak ada yang sia-sia, karena bisa jadi doa yang kita panjatkan itu dikabulkan dalam bentuk lain.

Di antara bentuk pengabulan doa adalah:

Pertama: Doa Anda dikabulkan di dunia.

Kedua: Ditangguhkan sampai hari kiamat.

Ketiga: Sebagai penangkal kejelekan yang mungkin akan menimpa Anda.

Inilah rahmat dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya, di mana Dia tak pernah menyia-nyiakan kebaikan yang kita lakukan.

Tapi mungkin Anda tidak tertarik dengan hal ini. Dan Anda berkata, misalnya ketikaAnda sedang butuh uang untuk suatu keperluan dan Anda telah berdoa kepada Allah agar diberi rezeki, “Allah Maha Mengabulkan doa, dan saya menginginkan doa saya dikabulkan di dunia. Saya hanya ingin uang, bukan dalam bentuk lain.”

Ini adalah hal yang wajar. Tapi apakah Anda yakin bahwa setiap doa Anda akan mendatangkan kebaikan? Sebab bisa jadi, sebagian doa Anda justru akan mendatangkan kejelekan bagi Anda. Anda mungkin telah berdoa agar bisa lulus di perguruan tinggi favorit di kota Anda. Anda betul-betul menghiba bahkan sampai meneteskan air mata dalam berdoa. Namun Anda ternyata tidak diterima di perguruan tinggi itu. Apa yang akan Anda katakan? “Allah tidak mengabulkan doaku!”.

Namun sebenarnya Allah telah mengabulkannya! Yaitu dengan menghalangi kejelekan yang hampir menimpa Anda tanpa Anda sadari jika Anda diterima kuliah di tempat tersebut. Bisa jadi di PT itu Anda akan dipertemukan dengan teman-teman yang buruk akhlak dan perangainya, yang justru akan menggelincirkan Anda dalam kebinasaan dunia dan akhirat.

Atau, Allah menangguhkan jawaban doa tersebut di akhirat dalam bentuk pahala yang tidak pernah Anda sangka-sangka sebelumnya. Demikian menakjubkannya pahala itu, sampai-sampai Anda berharap agar doa-doa Anda tidak dikabulkan di dunia. Semua untuk simpanan akhirat saja.

www.wahdah.or.id

Juli 20, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar